Friday, April 12

Review Film Indonesia | “Surat dari Praha (2016)” Menjenguk Eksil

 

Di penghujung durasi Surat dari Praha saya langsung berujar: mengapa tidak dibuat full musikal sekalian?

Film ini berkisah tentang Laras, anak tunggal, yang mendapatkan warisan dari ibunya namun dengan syarat harus bertemu seseorang di Praha dan menyerahkan sebuah kotak kayu berisi tumpukan surat beserta sebuah surat balasan. Perjalanannya untuk memperoleh tanda terima kotak tersebut tidak mudah. Jaya, orang yang dimaksud, menolak untuk menerimanya dan menghardik Laras supaya langsung pergi. Naas, di perjalanan pulang pasca diusir, Laras dirampok oleh supir taksi yang dinaikinya. Dia tidak punya pilihan lain selain kembali lagi ke kediaman Jaya. Laras kemudian menemukan banyak hal mengejutkan lewat perjalanan sosok Jaya, yang ternyata adalah salah seorang warga eksil.

Surat dari Praha memiliki komposisi penceritaan yang lumayan kompleks apabila dibandingkan dengan film-film Indonesia lainnya.

Apabila diumpamakan sebagai sebuah akar, film ini bukanlah akar tunggang, melainkan serabut. Isunya beranak pinak. Ada banyak hal yang coba dikaitkan. Ada yang berhasil, namun tidak sedikit yang justru keteteran. Di satu titik, saya menganggap bahwa tema besar film ini adalah kerinduan–kerinduan pada banyak hal. Pas nih, pemilihan Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara.

Tema besar itu kemudian digelantungi oleh untaian isu politik, penerimaan diri, drama keluarga, hingga percintaan.

Dan sesuai pengantar yang tampil di awal durasinya, porsi politik menjadi sangat mayor di sini. Saya suka dengan usaha membalut kisahnya. Meskipun saya sempat dibuat jengah di awal. Ketika gambar mulai bergulir hingga nyaris tengah durasi, saya dibuat terganggu oleh teks pembuka dan pengisahannya yang egois–tidak ada interkoneksi yang jelas dan membuat saya menebak-nebak (condong ke kesan negatif). Untunglah hal itu segera diperbaiki setelah ada satu bridging yang berhasil–pasca Jaya mengantar Laras ke KBRI untuk pertama kali–semiotiknya berhasil. Semestinya, teks pembuka itu ditaruh di akhir durasi sekalian–sehingga penonton benar-benar total ketika diajak meraba arah.

 

Untuk jajaran cast, Julie Estelle yang memerankan Laras nampak tergopoh-gopoh dalam menciptakan chemistry di paruh awal. Untung Widyawati (ibu Laras) dan Tio Pakusadewo (Jaya) tampil dengan sangat prima. Widyawati yang memiliki porsi terbatas justru mampu mencuri perhatian–dan sukses membekaskan kepiluan. Sedangkan Tio sebagai Jaya sangat bijak dalam mengawal akting Julie hingga penghujung durasi–dibantu oleh Dewa (Rio Dewanto) yang memegang peran penting sebagai bridging emosional keduanya, meski keberadaannya minimalis.

Film ini cerdik menggunakan gap umur antar karakter untuk membuat dialognya terkesan sah-sah saja dilontarkan.
Selain itu, performa dua tokoh utama, Jaya dan Laras, sangat terbantu dengan keberadaan banyak lagu bagus yang disematkan–berkat campur tangan Glenn Fredly.

Itulah mengapa di awal tulisan ini saya bertanya mengapa tidak dibuat sepenuhnya musikal? Saya pikir langkah itu justru akan membuat penampilan tiap cast-nya menjadi sama-sama kuat. Surat dari Praha juga harus benar-benar berterima kasih kepada departemen sinematografi dan production design. Meskipun ketika masih berada di Indonesia visualnya terkesan kurang nendang, namun ketika di Praha bidikan gambarnya bisa tampil natural dan maksimal. Bahkan film Indonesia lain yang juga mengambil seting di luar negeri belum ada yang bisa mengalahkan keanggunan sinematografi Surat dari Praha. Oh, tetapi ada hal yang cukup mengganggu, produk placement-nya benar-benar bikin prihatin. Agaknya hal ini memang masih menjadi satu PR besar bagi dunia perfilman nasional.

Film Surat dari Praha adalah sebuah “surat cinta” untuk Indonesia.

Untuk seluruh elemen bangsa. Pengingat dan teguran halus tentang keberadaan para mantan warga negara–eksil–yang terpaksa harus menerima nasib semenyakitkan itu hanya gara-gara kepentingan politik–lebih miris lagi, jumlahnya sangatlah banyak. Saya sangat mengapresiasi satu scene ketika para eksil korban kekacauan 1965 sedang berkumpul, bernyanyi, dan berkisah–benar-benar heartbreaking. Scene itu cukup berhasil membuat saya memaafkan beberapa adegan lain (pun beberapa bridging plot) yang menurut saya kurang halus. Atas isu besar yang memayunginya, Surat dari Praha adalah sebuah film penting.

Surat dari Praha memperoleh 8 dari 10 bintang.

(Film Surat dari Praha telah ditonton pada 1 Februari 2015, review resmi ditulis pada 2 dan 7 Februari 2016)


Review ini sebelumnya tayang di laman tersapacom sebelum akhirnya merger ke ngepopcom dan telah dibaca lebih dari 650 visitor.

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading