Meski glamor, Black Panther sebagai film tetaplah sebuah presentasi yang rendah hati.
Ada dua alasan mengapa review kali ini tidak berwujud reguler, melainkan catatan (seperti format yang biasa saya gunakan ketika mengulas serial). Sebab pertama, jelas karena Black Panther berhasil menjadi sebuah film yang bagus, baik secara kemasan maupun substansi. Urgensi kedua karena saya tergelitik dengan sekian selentingan yang sempat terlihat di media sosial (terutama twitter) beberapa waktu lalu berkait Black Panther, bahkan ketika filmnya saja belum dirilis.
Dengan parafrase, kurang lebih konten yang oknum netizen sampaikan berbunyi begini, “Orang-orang kulit hitam begitu mengelu-elukan film Black Panther sebagai black empowerment, tapi sadarkah mereka bahwa para eksekutif di studionya adalah kaukasian?”
Mungkin, mungkin ya, sinis memang sudah mendarah daging di komunitas maya ini. Dan jujur saja, saya cukup gerah dengan komentar tersebut saat pertama kali menemukannya. Dengan ucapan seperti kutipan di atas, itu justru semakin mengukuhkan bahwa permasalahan rasial di dunia ini memang belum pernah benar-benar tuntas.
Ungkapan bahwa untuk bangga kepada sebuah produk artinya harus seratus persen terbuat dari pikiran-darah-keringat ras yang sama dengan mengabaikan sumbangsih pihak-pihak lainnya, merupakan chauvinisme di realitas literal. Ini sama halnya ada dua pihak yang adu ngotot, tapi sesungguhnya apa yang disampaikan tidak sesuai konteks, argumennya jelas tidak valid.
Bermain di ranah konteks, ada yang namanya elemen fakta dan ada yang disebut elaborasi.
Faktanya, secara garis besar, Black Panther adalah film superhero garapan Marvel-Disney. Kondisi yang mau tidak mau pasti akan mengakibatkan para pemimpin korporasinya ikut masuk ke dalam pusaran kredit nama. Akan tetapi, ketika dielaborasikan, kita tidak bisa abai bahwa medium film adalah tentang keputusan kreatif kolektif. Kalau mau menang-menangan di ranah superioritas, bisa saja para eksekutif itu membuat film ini sebagai sebuah ajang whitewashing. Namun, apakah yang terjadi demikian?
Toh, realisasinya, epos T’Challa ini dengan lapang dada disodorkan penanganannya oleh studio kepada pihak-pihak yang dianggap representatif, mereka diberikan hak dasar yang sudah seharusnya melekat pada pekerja kreatif: creative freedom. Ada itikad baik di situ. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita paham tentang esensi kolaborasi nan konstruktif. Alih-alih mencoba mendiskreditkan suatu karya berbekal sindiran remeh-temeh yang tidak esensial, semestinya kita bisa melangkah lebih progresif dengan menjadi apresiatif.
Di kasus Black Panther ini, satu hal utama yang perlu kita tanamkan di benak: ini bukanlah presentasi eksklusivitas.
Penyajiannya universal. Gagasannya adalah masalah yang sama yang juga kita hadapi, di mana pun kita berada, di suku mana pun asal moyang kita. Lebih jauh, sejenak pasca film berakhir, saya langsung menyimpulkan: Black Panther tidak cuma berakhir sebagai sebuah film, ini adalah selebrasi!
Menyoal proyek mega-bintang
Lalim rasanya kalau hal pertama yang saya sorot bukanlah tentang melimpahnya talenta-talenta ciamik di depan maupun di belakang layar. Black Panther memiliki bekal yang sangat solid berkaitan dengan kepercayaan (trust) dan dedikasi dari pihak-pihak yang terlibat.
Tidak hanya karena ini adalah proyek blockbuster dari salah satu franchise terbesar sepanjang masa (Marvel Cinematic Universe), melainkan juga karena ini merupakan salah satu kesempatan langka di mana persatuan minoritas memperoleh corong pelantang istimewa guna menggaungkan perayaan representasional versi mereka.
Perayaan yang jelas saja tidak akan pernah bisa lepas dari kegeraman politis, tetapi di lain hal pun tetap tidak lupa pada akarnya: kekayaan sosio-kultural. Kekayaan yang selama ini masih banyak yang hanya diperlakukan sebagai pelengkap, pemeran pendukung, background pertunjukan, dan sejenisnya.
Inilah momentum untuk mengingatkan betapa sejajar bukanlah sekadar tuntutan, tapi sudah merupakan keharusan.
Menyaksikan Black Panther merupakan salah satu momen fanboying paling dahsyat yang pernah saya rasakan. Bagaimana tidak? Nama-nama ikonik yang selama ini selalu bikin saya terpesona lewat hasil karyanya kini melakukan kolaborasi raksasa, di layar lebar, di medium audio-visual.
Menengok nama pengarah utamanya saja, Ryan Coogler, sudah bikin napas saya kembang-kempis.
Dia adalah sosok yang bertanggung jawab pada terwujudnya warisan (legacy) epik Rocky Balboa, lewat Creed (2015). Belum lagi kalau mau merunut filmografinya yang lain, Coogler adalah manifestasi sebenarnya dari terma dedikasi terhadap komunitasnya. Visinya selalu jelas, misinya selalu berdasar (tidak peduli pada skala besar-kecil produksinya). Darinya, kita yang bukan dari komunitas kulit hitam pun akhirnya bisa sedikit belajar, mengecap fragmen interaksi kehidupan yang bisa terjadi di kondisi masyarakat setempat. Tidak dengan mengagung-agungkan, tetapi dengan pendekatan reflektif. Bentuk pendekatan yang sukar buat kita abaikan sebab posisinya berada selevel bersama empati. Sensitivitas yang juga tidak luput dia injeksikan kepada Black Panther (dari duet naskah bersama Joe Robert Cole).
Selain itu, muncul pula nama Kendrick Lamar di jajaran kurator sekaligus pengisi musiknya.
Andilnya sangat kental terasa, bahkan gubahan etnik-kontemporer Ludwig Göransson turut mengikuti ritme Lamar–Marvel belum pernah memiliki penanganan departemen musik yang selebur dan se-memorable ini. Kalau terlanjur penasaran, kamu bisa lebih dulu menyantap album soundtrack-nya–yang saya bilang tidak cuma tampil sebagai formalitas album Black Panther, tetapi sentuhan Lamar begitu nyata seolah-olah ini adalah album personalnya yang lain.
Di jajaran pemeranan, Black Panther merupakan parade mega-bintang.
Sejak durasi bergulir, kita sebagai penonton tidak henti-hentinya dibuat bergumam, “Loh, si itu… wah itu juga ada… bentar, kok ada dia juga?” dan rentetan ujaran tanda kebahagiaan lainnya. Lebih bahagia lagi sebab seperti sudah jadi jaminan mutu, performanya tidak ada yang ecek-ecek. Bahkan villain-nya pun bisa ditahbiskan sebagai terbaik dari MCU sejauh ini. Maka kalau kamu juga penonton yang cukup familiar dengan nama-nama seperti: Chadwick Boseman, [Danai Gurira, Lupita Nyong’o, Letitia Wright–tiga karakter perempuan nan superior], Daniel Kaluuya, Sterling K Brown, Michael B Jordan, hingga Martin Freeman; semestinya ini sudah cukup buat memenuhi prasyarat pepatah klasik “just shut up and take my money already!”
Perayaan politis a la Black Panther
Saya curiga, apa sebenarnya kaitannya Disney dengan Macklemore? Setidaknya dalam kurun enam bulan terakhir, saya mendapati dua filmnya (Coco, dan sekarang Black Panther) yang beresonansi erat dengan lirik lagu milik penyanyi asal Seattle bernama asli Ben Haggerty itu.
Macklemore dalam “Wednesday Morning” mengutarakan kalimat, “When they build walls, we’ll build bridges.”
Larik yang menandakan tekadnya untuk tidak menjadi paranoid, justru berusaha merangkul bala eksternal yang dianggap sebagai ancaman oleh pemangku tampuk kekuasaan yang baru.
Di Black Panther, sosok T’Challa turut melontarkan pidato yang kurang lebih bermakna sama di hadapan majelis PBB. (Ujaran yang langsung bikin saya merinding di kursi penonton dan mendadak mata berkaca-kaca habis mendengarnya–sebab saya tidak menyangka bahwa kritik sosial-politiknya bakal sekeras ini, apalagi ini produk Marvel-Disney).
Dan yang perlu dipahami, itulah tujuan akhir yang ingin digolkan oleh film ini setelah melalui sekian kali eskalasi. Tentang proses panjang yang harus dilalui oleh Wakanda sebagai sebuah negara dan bangsa; yang selama ini lebih memilih untuk nyaman menyembunyikan diri atas dasar kekhawatiran: apabila mereka berbagi kepada pihak luar, teknologi yang mereka miliki akan disalahgunakan dan menimbulkan kekacauan. Sebuah pembelajaran yang sangat mahal pun mesti mereka lewati (perang sipil), barulah akhirnya mereka sadar bahwa dibanding harus terus-terusan berlaku defensif, sudah semestinya mereka mau berubah dengan menjadi terbuka dan merangkul komunitas lain.
Ketegasan lain turut tergambar di cara bagaimana Black Panther menangani sentimen rasial.
Film ini sadar bahwa pengkotak-kotakan ras bukanlah jalan keluar terbaik. Meskipun tentu saja narasinya tidak langsung mengarah ke kesimpulan tersebut.
Sejak awal, prasangka terhadap pihak-pihak eksternal sudah terlalu kuat. Dibuktikan dengan langkah penyebaran mata-mata Wakanda ke seluruh dunia. Satu tindakan yang tidak akan diambil apabila rasa curiga terhadap bangsa lain sudah benar-benar musnah di dunia ini. (Nantinya, setelah sadar akan pentingnya diplomasi ideal, Wakanda akhirnya membuka keran-keran hubungan resmi dengan negara lain–berupa kantor perwakilan resmi dan delegasi).
Meski begitu, bukan berarti Black Panther mengambil jalan pintas dengan menjadikan sosok asing sebagai “musuhnya” begitu saja.
Ada anomali yang turut ditunjukkan lewat representasi tokoh Everett K. Ross–seorang agen kulit putih Amerika–yang bermula dengan kecurigaan/kepercayaan (tergantung dengan siapa ia terlibat interaksi) dan malah berakhir dengan salah satu tindakan paling heroik di film ini.
Justru, ancaman terbesar yang mesti dihadapi oleh Wakanda bersumber dari dalam tubuhnya sendiri.
Mereka selama ini terlalu naif berpikir bahwa semua entitasnya menginginkan cara bernegara yang sama–tidak berminat cawe-cawe di level global secara terang-terangan; bahkan sampai muncul kalimat, “Perang tidak pernah jadi cara kita.”
Nyatanya, di sebuah tubuh yang tampak baik-baik saja, tetap ada bagian-bagian kecil yang potensial mengoyak organ lainnya. Ada pihak yang menginginkan agar Wakanda lebih agresif dalam hal pamer kekuatan. Mengingat secara teknologi dan persenjataan mereka unggul jauh dari negara mana pun. Pihak-pihak ini khawatir kalau mereka terus tertutup, maka cepat atau lambat dunia luar segera bisa menyusul ketertinggalan teknologi yang dipakai; dan hal itu berpotensi mengancam Wakanda ke depannya.
Entitas terbatas tersebut yang selama ini tidak bisa terlalu vokal, pada akhirnya memperoleh legitimasi ketika tahta Raja (yang baru seumur jagung dan masih prematur) berhasil direbut secara legal oleh seorang pendendam. Keturunan yang masih mengalir darah pewaris tahta, tetapi “dibuang” oleh penguasa sebelumnya. Motifnya jelas, tapi status moralnya abu-abu; mana yang harus kita bela?; sebab lewat representasinya, ditunjukkan bahwa kita pincang kalau nekat melakukan generalisasi dan diskriminasi suatu pihak berdasar faktor genetik.
Ekses itu memaksa suku bangsa Wakanda berada di posisi bersitegang–loyalis raja sebelumnya diburu, pemangku sistem mesti nurut sama Raja yang baru meski nurani berontak, haluan Wakanda pun langsung coba diubah menjadi defensif dengan cara mengirimkan senjata-senjata vibranium ke seluruh dunia. Perpecahan di ujung mata.
Dan seperti tidak terhindarkan, pecahlah perang saudara.
Mimpi buruk yang selama ini tidak pernah dibayangkan oleh imajinasi terliar siapa pun penghuni Wakanda. Ketika krisis dan bentrok fisik tak terelakkan (ditandai dengan kembalinya T’Challa yang berusaha menggagalkan rencana Raja yang baru), butuh satu gestur penting yang bakal membuat film ini menjadi sangat powerful. Gestur yang sebelumnya absen dengan begitu cerobohnya di Thor: Ragnarok (2017) ketika Asgard hancur di depan matanya–padahal itu adalah tempat hidupnya semenjak belia.
Untungnya, Black Panther brilian dengan tidak alpha menyelipkan satu adegan subtil yang menampilkan Okoye dan pemandangan kacau-balau di belakangnya dari sudut pandang kerlingan sekilas mata W’Kabi. Pandangan sekilas yang langsung menyadarkannya dan membuatnya memilih untuk mengalah; mengalah demi kebaikan bangsa, bukan sebatas ego kuasa. Gestur tersebut sama hebatnya dengan perubahan suara Dilan (yang tidak kuasa menolak, dengan menurunkan suara) ketika Milea mengajaknya jalan demi menggagalkan rencana tawuran di film Dilan 1990 (2018).
Realitas alternatif
Di atas kertas, Black Panther sudah barang tentu digelari sebagai sebuah film superhero. Namun, kalau mau sedikit merunut lagi, ini bukan sekadar dimaksudkan sebagai demikian.
Film ini saya sebut sebagai wujud perayaan kultural atas entitas yang terpinggirkan.
Ini adalah panggung bersama yang menampilkan realitas alternatif, yang entah bagaimana, sukses membuat saya merindukan hal itu–meski tidak pernah bersinggungan langsung.
Dalam bahasa yang lebih kotor, ini adalah permata yang telah lama hilang di tayangan populer kita–dengan menyebutnya sebagai permata saja, itu sudah menggambarkan betapa buruk dan bengisnya perjalanan kemanusiaan kita sejauh ini dalam “menyibak kilau permata” demi memperoleh status “setara”.
Kita selama ini terlanjur dibuat silau oleh makna kemajuan itu sendiri.
Bahwa kalau berbicara tentang terma tersebut, artinya harus berkiblat pada progres di Amerika Serikat dan sekutunya. Bias yang akhirnya secara tidak langsung ikut menutup “layar-layar” alternatif yang menawarkan narasi: Bagaimana kalau sebenarnya Amerika bukanlah negara paling maju di dunia? Bagaimana kalau seandainya ekosistem Wakanda benar-benar ada?
Bermain di pelataran “what if”, Black Panther memberikan penyegaran berpikir barang sejenak.
Walaupun di dunia nyata kondisinya tidak seperti yang tertampil di layar, tapi paling tidak film ini memberikan realitas alternatif yang begitu berwarna. Amati adegan penobatan Raja baru di awal durasi, ilustrasi keberagaman, musyawarah-mufakat, lengkap dengan atribut warna-warni nan mencolok yang entah mengapa berhasil tampil begitu nyatu. Kalau keindahan tersebut tidak bikin kamu merinding, saya kira ada syaraf yang kecetit.
Atau, mungkin saja memang ada penonton yang se-clueless layaknya audiens di PBB sewaktu T’Challa berbicara. Sedikit mengingatkan, di adegan itu ada seorang yang dengan polos/sok tahu/menghina (tergantung sudut pandangnya) bertanya: apa yang bisa disumbangkan oleh negara dunia ketiga yang penduduknya lebih dikenal sebagai petani? Dan seperti respons yang tergambar setelahnya, Ross tersenyum jahil kepada T’Challa. Ross (yang sudah menyaksikan realitasnya) tidak sabar menanti orang-orang itu supaya segera tahu bahwa kemajuan dunianya tidak ada apa-apabnya dibandingkan dengan Wakanda.
Lewat metafora-metafora kongkritnya, Black Panther sanggup menginjeksikan bahwa tujuan kesetaraan yang diaspirasikan oleh minoritas bukanlah untuk mendominasi.
Tidak seperti yang orang-orang bayangkan selama ini, yang hobinya sinis dan paranoid tiap kali minoritas menuntut balik atas kepingan haknya yang dirampas. Karena di kondisi ideal, ketika sekat minoritas-mayoritas itu runtuh, kado kemanusiaan terbaik adalah terciptanya perdamaian, kelegaan, dan rasa hormat (respect) satu sama lain tanpa perlu lagi menaruh curiga. Terdengar utopis, tapi apa salahnya kalau kita mulai mencoba mengakui kealphaan selama ini dan mau belajar dari pengalaman untuk bisa berkembang akal ke depan?
Black Panther memperoleh 10 dari 10 bintang.
[…] “Black Panther” (2018) […]