Friday, March 29

Review Film | “Dunkirk (2017)” Kemenangan yang Sesungguhnya

Nolan lewat Dunkirk-nya berhasil menghadiahi sinema dan dunia dengan film perang yang pendekatannya belum pernah kita saksikan selama ini. Sebuah film yang pekat dengan suspense nonstop tanpa perlu berpenampilan barbar.

Terdapat tiga keping kisah beda sudut pandang yang diperkenalkan di awal durasi. Satu kisah ditunggangi para prajurit yang terjebak di Dunkirk dan mencoba pulang ke rumah (Inggris) dengan Tommy (Fionn Whitehead) sebagai karakter pembawa tongkat estafet koherensi. Satu kisah lagi menjadi milik para pilot Supermarine Spitfire, pesawat tempur kebanggaan Inggris yang bertugas melumpuhkan pesawat tempur musuh sekaligus menghalau gangguan terhadap kapal-kapal yang mengangkut para prajurit pulang ke rumah (Inggris). Satu kisah berikutnya menjadi milik Mr Dawson, Peter, dan George di atas kapal mereka, representatif kapal-kapal sipil lainnya yang tak kalah heroik: ingin menjemput para prajurit pulang ke rumah (Inggris).

Ketiga keping kisah tersebut tidak hanya berfungsi sebagai elemen dramatisir, tetapi kehadirannya bersifat substantif; mengisi selongsong kekuatan dan kedaulatan negara: darat, udara, laut.

Dunkirk tidak mengenal basa-basi.

Adegan dibuka dengan memperlihatkan beberapa prajurit Inggris yang dihujani brosur (menginformasikan bahwa mereka telah dikepung musuh) sambil menyusuri sebuah jalan kecil di tengah permukiman Dunkirk, Prancis yang telah ditinggalkan oleh penduduknya. Mereka berjalan gontai sambil mencari-cari apa pun yang bisa melegakan mereka dari kengerian suasana perang–termasuk berusaha memantik puntung rokok bekas yang sudah teronggok di asbak. Naskah film ini (yang ditulis langsung oleh Christopher Nolan dan hanya terdiri dari 76 halaman) tidak mau berlama-lama, sedetik kemudian lesatan peluru segera menyasar mereka. Sejak dari situlah janji atas teror dan intensitas kengerian tak pernah susut disajikan kepada penontonnya.

Selama ini kita sudah terlanjur familiar dengan banyak film yang menjadikan tokoh cerita sebagai karakter (motor penggerak utama) dalam pengisahan. Konvensi tentang karakter tersebut selanjutnya bakal didukung oleh aspek teknis yang bertugas membangun atmosfer serta emosi, yaitu lewat: suara, sinematografi, dan pengarahan. Dunkirk tidak seperti itu.

Di film ini, selain para tokoh, aspek scoring, sinematografi, serta pengarahannya ikut dijadikan karakter vokal.

Ketiga hal tersebut kalau dalam bahasa teori memang terkesan sekadar diposisikan sebagai objek sekunder (pelengkap narasi). Namun, di tatakan Dunkirk, mereka seolah berbicara lantang dengan bahasa masing-masing, pun kehadirannya sama kuatnya dengan performa para aktor yang ada.

Melanjutkan adegan pembuka, tampak jelas disitu bahwa geberan scoring Hans Zimmer langsung menggelegar dan nantinya akan terus membuat penonton merasa tidak tenang hingga nyaris di penghujung.

Elemen utama gubahannya yang menggunakan suara detikan jam sanggup kawin sempurna dengan sound mixing dan sound editing nan gahar. Maka tidak heran kalau salah satu koar-koar yang paling santer tentang ritual menonton film ini adalah: tonton di bioskop dengan sound system paling prima.

Ketika aspek suara sudah mampu mandiri menjaga performa, berikutnya bidikan mata Hoyte van Hoytema tidak mau ketinggalan unjuk kebolehan.

Sinematografinya begitu sublim, mengintimidasi, sekaligus melankolis di satu paket perjalanan.

Ini adalah salah satu sinematografi paling mempesona yang pernah saya saksikan. Kombinasi pengalaman, keahlian, juga alat perekaman “terbaik” (kombinasi kamera IMAX dan analog) merupakan kombo yang begitu nikmat. Di satu sisi dia selalu berhasil membidik sudut-sudut aerial serta mengambil gambar-gambar daratan dari udara (jarak jauh) secara monumental sekaligus menyiratkan kerapuhan. Di sisi lain, dia pun berhasil mengabadikan momen-momen intim yang sukses memperlihatkan detail, tekstur, pun ekspresi close-up dengan kedalaman dan tersaji crystal clear.

Aspek selanjutnya yang juga berhasil menjelma sebagai karakter adalah pengarahannya.

Kehadiran Christopher Nolan di belakang kemudi sutradara sangat terasa di sini.

Tanpanya, ketiga keping cerita yang saling berpotongan dan di satu titik menjadi begitu tampak interkoneksinya (ketika momen ini hadir dan kita menyadarinya, ini adalah salah satu wujud kepuasan tersendiri) akan susah untuk diwujudkan. Di satu bagian pengarahan, Dunkirk menjelma sebagai sebuah film yang berjalan pelan-pelan. Namun, di bagian lain, kita sangat sadar bahwa film ini begitu padat. Kontradiksi janggal semacam ini yang kalau misalnya bukan Nolan yang menangani, kok saya ragu capaian serupa bisa digapai. Ini pulalah yang membuat Dunkirk tidak kehilangan “sentuhan khas” Nolan (meskipun ini merupakan film pertamanya yang based on true event).

Dan apakah membicarakan Dunkirk artinya hanya berhenti pada aspek teknis? Jawaban paling tepat: tidak. Di catatan saya, terdapat dua hal lagi yang kehadirannya esensial: departemen pemeranan dan gagasan.

Dunkirk masuk ke deretan film yang berhasil membuat penontonnya “mengenal” para tokohnya yang jumlahnya tidak sedikit tanpa perlu tahu backstory terlalu banyak (sebab memang ini bukan fokusnya).

Bayangkan saja, terdapat tiga keping kisah yang mewakili darat, laut, dan udara; pun di tiap keping jelas muncul tokoh yang berperan untuk menghidupkan fragmen masing-masing hingga nantinya bisa bersinggungan satu sama lain.

Di darat, kita dipertemukan dengan seorang prajurit bernama Tommy (Fionn Whitehead), dia bukanlah prajurit ideal kalau kita menggunakan persepsi dunia militer, tetapi kalau kita sesap lebih dalam: menusia mana yang tidak akan ketakutan ketika berada di atas sepatunya? Keinginannya yang ingin buru-buru “pulang” merupakan insting naluriah. Performa Fionn yang begitu polos dan tanpa menunjukkan intensi untuk mendominasi inilah yang akhirnya membuat penonton bersimpati pun memberi pemakluman kepada karakternya. Di darat kita juga dipertemukan dengan Komandan Bolton yang diperankan dengan begitu tenang oleh Kenneth Branagh, dia adalah representasi keberanian dan kesetiaan seorang pemimpin yang layak tiru.

Di udara kita berjumpa dengan tiga pilot Spitfire, yang dua di antaranya diisi oleh Tom Hardy dan Jack Lowden. Posisi mereka sebagai pelindung armada laut pengangkut para prajurit dengan cara menghalau pesawat musuh sungguh sangar. Karisma performa Tom dan Jack benar-benar terpancar bahkan tanpa perlu berlebihan menampakkan wajah mereka. Akhirnya, di laut kita dipertemukan dengan Mr. Dawson (Mark Rylance), Peter (Tom-Glynn-Carney), dan George (Barry Keoghan). Kehadiran mereka sebagai salah satu “kru” kapal warga sipil yang sukarela menuju Dunkirk untuk mengevakuasi para prajurit yang terjebak menyiratkan keberanian di level lebih tinggi. Kita pelan-pelan menyaksikan transisi pendewasaan emosional mereka (terutama Peter) ketika dipertemukan dengan seorang prajurit yang terdampar di tengah laut (Cillian Murphy). Interaksi yang seakan berjalan paradoks ini menghasilkan kerelaan serta kedalaman emosi tak terucap.

Di level gagasan, melalui Dunkirk, Nolan seperti berusaha menata ulang mindset kita tentang perang.

Berapa banyak dari kita yang selama ini ketika dihadapkan pada istilah “perang” selalu terkungkung dalam opsi sempit: menang atau kalah?

Perang tidak pernah benar-benar menjadi keputusan yang diharapkan oleh mayoritas orang di mana pun. Kalau berpegang pada akal yang waras, kita sebagai manusia jelas lebih memilih untuk hidup normal, hadir di dalam lingkaran orang-orang yang punya arti dalam hidup kita, serta memperoleh kesempatan untuk mengejar hal yang ingin diraih. Aspirasi tersebut didukung oleh fakta kenapa pada akhirnya evakuasi Dunkirk jadi kisah sejarah paling heroik bagi masyarakat Inggris.

Kalau kita memakai kaca mata bahwa perang itu harus penuh pertumpahan darah, kekerasan, menang-kalah, dan dendam tak berkesudahan, sudah pasti Dunkirk akan begitu saja dilupakan. Dunkirk merupakan kisah penyelamatan ratusan ribu prajurit muda yang cuma berharap satu hal: pulang ke “rumah”—memperoleh rasa aman. Mereka pulang tidak membawa kemenangan maupun kekalahan, tetapi mereka pulang karena membawa hasrat mendasar ingin kembali merasakan kehangatan dari tempat asalnya, keluar dari lokasi yang jadi mimpi buruk mereka—yang terus-terusan menciptakan ketakutan.

Dan dengan kondisi seperti digambarkan di film ini, di mana banyak orang tua dari strata warga sipil yang kemudian rela bertaruh nyawa turun tangan menyebrangi lautan demi menjemput “anak-anak” mereka, tindakan itu merupakan wujud rasa sayang tanpa syarat dan kemenangan terbesar sebuah persatuan masyarakat berikat nama negara.

Sampai di momen tersebut, sejalan dengan tagline powerful yang dibawa oleh film ini “When 400.000 men couldn’t get home, home came for them”, saya konstan merinding dan mata langsung basah begitu saja, tak terkendali.

Di penghujung, ketika nama Christopher Nolan akhirnya muncul di layar hitam, menandakan credit yang mulai bergulir, perasaan saya mencelos. Saya hanya ingin duduk diam bersandar lama di kursi-tepuk tangan-tatapan mata tetap ke layar-sambil mendengarkan scoring yang kini bertempo pelan; tidak mau ngobrol dengan kanan-kiri, tidak berminat mainan hp. Sensasi tak terdefinisi inilah yang membuat saya begitu hormat kepada film Dunkirk, sejarahnya, dan setiap nama yang telah ikut terlibat dalam proses panjang pembuatannya. Terima kasih.

Dunkirk memperoleh 10 dari 10 bintang.

Film Dunkirk (2017) telah ditonton pada 21 Juli 2017, review resmi ditulis pada 21-22 Juli 2017.

 

2 Comments

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading