Tuesday, July 23

Review Film Indonesia | “The Seen and Unseen (2017)” Kesedihan dan Trauma Anak-Anak

Pada film The Seen and Unseen, anak-anak menjadi sosok utama untuk membedakan mana yang terlihat (the seen) dan mana yang tak terlihat (the unseen) di kehidupan manusia.

Anak-anak tinggal di dalam dua dunia: dunia dengan dominasi logika yang ditinggali bersama orang dewasa; serta dunia berisi kenyataan milik mereka yang sering sulit dipahami oleh tetua. Penggambaran ini dibangun lewat mitos kebudayaan lokal serta simbol-simbol kekuatan alam di Bali.

Film besutan Kamila Andini ini berpusat pada sosok Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih), seorang gadis cilik yang memiliki saudara laki-laki bernama Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena). Mereka berdua adalah kembar buncing yang merupakan istilah Bali untuk kembar dengan jenis kelamin berbeda. Kuatnya ikatan emosional di antara mereka berdua membuat Tantri menderita kesedihan yang begitu mendalam ketika Tantra mesti terbaring koma di rumah sakit akibat tumor di kepalanya.

Ikatan emosional sebagai kembar buncing serta kesedihan milik Tantri kemudian direpresentasikan lewat banyak simbol multi-interpretatif.

Misalnya, setelah Tantra koma, Tantri menemukan telur tanpa bagian kuning di dalamnya, yang merupakan bagian telur kesukaan saudaranya itu. Kemudian kisah-kisah wayang dari Tantra yang berkisah soal raksasa jahat pemakan bulan. Simbol-simbol yang ada diperlakukan sebagai pengait untuk menghubungkan berbagai peristiwa di dalam cerita.

Meski begitu, simbol-simbol ini sebagian besar memang hanya dialami oleh Tantri sebagai anak-anak. Dalam merespon kondisi Tantra, Ayah (I Ketut Rina) dan Ibu (Ayu Laksmi) mereka melakukan hal-hal yang lazimnya dilakukan orang dewasa. Sebut saja: sibuk dengan urusan administrasi rumah sakit, rutin membersihkan tubuh Tantra dengan lap basah, dan juga berkebun untuk menyambung hidup. Di sisi lain, Ayu Laksmi berhasil tampil sebagai sosok seorang ibu yang tegar dan tanpa lelah berusaha mengurai kesedihan Tantri dengan kehangatannya.

Akan tetapi, Tantri mengalami banyak hal dalam usahanya menaklukkan trauma yang tak melibatkan—dan mungkin tak dapat dilihat oleh—orang dewasa. Ketika di siang hari Tantra terbaring koma, di malam hari, ia terbangun dan bersama Tantri bersenandung di dalam kamar rumah sakit. Selain itu, Tantri juga berulang kali melakukan penafsiran dan reproduksi simbol terhadap hewan seperti ayam jago dan monyet sebagai simbol kekuatan dan kemarahan. Belum lagi tarian-tarian bernuansa magis yang dilakukan di bawah terang bulan di tengah-tengan pematang sawah.

Pujian khusus perlu diberikan kepada koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani untuk komposisi tarian susunannya.

Ia mampu menciptakan koreografi buat The Seen and Unseen yang kuat, liar, dan dilakukan dengan akurasi yang mengagumkan oleh para pemeran anak. Peristiwa dan simbol-simbol alam yang ia pilih untuk membungkusnya, membuat tarian-tarian tersebut terasa begitu mistis, mencekam, tapi di sisi lain begitu indah serta menunjukan keresahan nan mengusik.

Selain itu, Ni Kadek Thaly Titi Kasih tak bisa dipungkiri menjadi sosok yang benar-benar bersinar dengan perannya menghidupkan sosok Tantri.

Sebenarnya tak banyak dialog yang ia ucapkan, tetapi kemampuannya menunjukan keresahan, kepedihan, dan juga harapan lewat ekspresi non-verbalnya menjadi bagian paling kuat di film ini. Hal itu sangat terlihat saat ia berinteraksi dengan Tantra serta ketika ia merespon unsur-unsur alam seperti sawah, bulan, dan binatang.

Dengan segala hal itu, Kamila Andini menciptakan film yang kuat sekaligus indah mengenai kesedihan dan trauma dari sudut pandang anak-anak.

Simbol-simbol serta misteri-misteri yang masih belum terjawab dalam The Seen and Unseen menjadi ruang tersendiri bagi penonton untuk ikut mengalami dan menafsirkan berbagai peristiwa di film ini. Tentu saja dengan kadar sensitivitas masing-masing.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading