Kalian sudah menonton film remaja terbaru yang berjudul Ada Cinta di SMA (ACdS)? Atau kalian sudah membaca review kami yang sangat positif tentang film ini?
Kalau belum, satu-satunya saran adalah: you should!
Dalam review yang telah diunggah sebelumnya, sudah sedikit disinggung bahwa ACdS tampil layaknya Ada Apa dengan Cinta (AAdC) reborn untuk generasi saat ini. Generasi internet.
Tidak hanya karena ada banyak hal yang relatable dengan eranya; tetapi juga karena secara formula, kedua film ini sama-sama berlatar SMA dan memiliki elemen yang semacam pinang dibelah dua. Tentu saja momen-momen itu sudah dibuat sedemikian rupa supaya sesuai dengan zamannya.
Dengan begini, ACdS dan AAdC adalah dua film yang sama-sama berhasil mengangkat kisah remaja secara utuh. Bukan yang dibuat-buat untuk terlihat menye, tetapi yang bisa memotret fenomena secara presisi.
Ngepop sudah mencoba merangkum sembilan momen yang membuat ACdS dan AAdC sama-sama istimewa. Omong-omong, ada beberapa poin yang mungkin bisa jadi spoiler bagi yang belum menonton. Jadi, silakan pilih mana saja yang mau dibaca. Yuk, cek daftar berikut!
1. Thoughtful songs
Apa yang paling diingat dari AAdC? Rangga dan Cinta? Ya, tetapi selain itu tentu deretan soundtrack-nya tidak bisa dilupakan begitu saja. Lagu-lagu di AAdC masih terngiang-ngiang dan dicintai sampai hari ini. Coba, siapa yang tidak tahu Bimbang dan Denting?
Lagu yang dinyanyikan sangat sesuai dengan jalan plot dan emosi yang sedang ditampilkan di film.
Begitu pun dengan ACdS. Meskipun remaja saat ini banyak diasosiasikan dengan kesan lirik yang dangkal, tetapi lagu-lagu di ACdS mampu membungkam anggapan itu. Film rilisan 2016 ini memiliki lirik yang berkualitas dengan musik yang tetap catchy. Coba dengarkan Cinta Salah dan Sampaikan Sayangku untuk Dia.
Kayaknya daftar lagu ACdS juga bakal bernasib sama seperti AAdC, deh.
2. Mading vs Snapchat
Mengapa booming AAdC satu setengah dekade lalu sangat terasa? Tidak bisa disangkal kalau film ini mampu mengadopsi fenomena kekinian yang terjadi pada waktu itu: mading. Mading di sekolah menjadi sesuatu yang sangat hits dan menjadi bagian di dalamnya banyak didambakan oleh banyak pelajar.
Di ACdS, kita akan disuguhkan fenomena kekinian yang sangat relevan: snapchat. Semua orang berlomba-lomba untuk eksis lewat Snapchat.
Fungsi mading dan Snapchat pada dasarnya kurang lebih sama: supaya memperoleh popularitas. Namun, mading nampak lebih elite secara kualitas.
Yang bikin ACdS keren adalah, film ini sadar dengan hal itu. Bahkan berani menyentil secara terang-terangan melalui tokoh Iqbal yang jengah karena sahabatnya, Aldi, selalu mengunggah sesuatu di Snapchat. Iqbal menghardik, “Apaan sih lo! Apa-apa di-snapchat-in, antara kekinian sama alay beda tipis!”
3. Puisi vs Osis
AAdC dan ACdS sama-sama memasukkan elemen kompetisi di sini. Lucunya, tren di sekolah dulu dan sekarang tidak terlalu banyak berubah. Di AAdC lomba cipta puisi menjadi pemantik utama menuju konflik, sedangkan di ACdS pemilihan ketua Osis-lah yang disuguhkan.
Sisi menariknya, kompetisi yang disajikan di kedua film tersebut bukanlah jembatan ke konflik tidak sehat. Justru ini adalah awal mula dari terciptanya hubungan yang fair.
4. Aku vs Critical Eleven
Wah, dulu, buku Aku karya Sjuman Djaya menjadi semacam kitab sakti. Seolah ada mantra tak kasat mata yang mambuat buku ini tampak sangat menggoda.
Sekarang? Tetap buku, dong. Tetapi kali ini Critical Eleven karya Ika Natassa-lah yang menjadi primadonanya.
5. Buku yang kubaca vs Tweet yang kubaca
Dengan jeda kurang lebih 15 tahun, tentu ada pergeseran budaya di generasi mudanya. Di AAdC, pengetahuan dan informasi diperoleh dari bacaan fisik yang dikonsumsi. Bisa dari buku maupun media cetak lain.
ACdS menangkap sisi penting ini. Di salah satu scene, Iqbal berujar—kurang lebih— “Dari tweet yang pernah gue baca…”
Hal ini secara jeli memperlihatkan bahwa generasi internet ya lebih banyak mengonsumsi informasi dari internet. Perkara benar-salah, baik-buruk, itu jadi urusan belakangan—yang tidak akan habis-habis kalau diperdebatkan.
6. Band
Di kedua film, band sama-sama menjadi elemen yang tidak bisa ditinggalkan. Yang menarik, kalau di AAdC band ditampilkan sebagai entitas yang digdaya dan penuh pesona, di ACdS band ditampilkan secara lebih dewasa.
ACdS menunjukkan bagaimana band tidak bisa selalu menjamin kelangsungan ekonomi ke depan. Namun di film ini pula, si tokoh akhirnya diberi kesempatan atas pilihan penuh untuk mempercayai apa yang menjadi impiannya. Salut!
7. KDRT vs Korupsi
Ingat sosok Alya di AAdC yang sangat sering berkeluh kesah ke Cinta karena orang tuanya selalu bertengkar? Bahkan di scene tertentu ditampilkan secara vulgar bagaimana Alya merasa sangat tertekan dengan KDRT yang dilakukan oleh sang ayah terhadap keluarganya. Menyesakkan.
Sedang di 2016, KDRT semakin jarang diekspos—dan mungkin kasusnya tidak semasif dulu—maka ACdS menyubtitusinya dengan mengangkat kasus lain: korupsi. Tidak bisa disangkal, saat ini korupsi menjadi musuh besar di Indonesia. Ya, tindakan yang sama-sama mampu mengoyak emosi Ayla sebagai tokoh yang terlibat.
8. Keluarga
AAdC dan ACdS sadar bahwa keluarga tetaplah elemen yang tidak bisa ditinggalkan. Dan tentu saja selalu ada kejadian menarik yang bisa diamati di dalamnya.
Terbukti, kan? Di kedua film ini sekuens yang melibatkan keluarga nampak sangat hidup—mengundang tawa sekaligus mengharukan!
9. Ambisi
Beda era boleh saja, tetapi ambisi adalah karakter yang bakal tetap hidup di lintas generasi. Di kedua film, AAdC dan ACdS, kita bakal menjadi saksi atas para karakter yang memiliki dinamika dengan egonya masing-masing. Dari situlah mereka kemudian mampu belajar dan menentukan tujuan apa yang ingin dicapai.
Hal ini sangatlah positif. Perlu diingat, positivisme jangan sampai menjadi suatu yang hilang dari tiap generasi!