Thursday, July 25

Catatan Serial | “Westworld Season 1” Jangan Mau Ikut Konsensus, Serial TV Sudah Tidak Sederhana

Paling tidak belajar dari 2016 ini, saya akhirnya berhasil diyakinkan bahwa kita berada di era di mana layar lebar sungguh harus head to head dengan layar kaca.

Bukan lagi di perkara gaet-menggaet penonton, tetapi di urusan tingginya kualitas penceritaan yang disajikan.

Tentu kita tidak bisa menggunakan paradigma industri hiburan di Indonesia sebagai tolok ukur. Di mana sampai sejauh ini masih banyak praktisi dan tukang generalisasi yang dengan tanpa ragu menyebut kalau kualitas televisi tidak boleh terlalu pintar.

Di Hollywood saat ini, posisi kedua bentuk hantaran hiburan tersebut sama-sama prestisius.

Namun, percaya atau tidak, fenomena “setara” ini pun sebenarnya masih menjadi gonjang-ganjing tersendiri di antara para pelaku yang terlibat di dalam industrinya—Hollywood. Banyak pelaku depan dan belakang layar untuk film layar lebar yang masih menyebut bahwa serial televisi posisinya inferior.

Sementara itu, seolah tidak hirau dengan bisik-bisik kontraproduktif, perkembangan kualitas serial TV sudah tidak bisa dianggap enteng.

Bahkan kini para produser rela merogoh kocek teramat dalam untuk merealisasikan rangkaian suguhan berisi delapan hingga 13 episode.

Pasalnya, ketika membicarakan tentang kebutuhan paling mendasarnya saja, budget, beberapa judul populer memperoleh gelontoran dana super besar.

Hitungannya apa? Per episode!

Gambaran saja, budget rata-rata per-episode untuk Game of Thrones adalah US$6 juta (sekira Rp78 miliar). Yang lebih gila lagi, ada judul serial TV baru di musim gugur ini bertajuk Westworld dan untuk episode pilot-nya saja alokasi budget diperkirakan mencapai US$20 juta (sekira Rp230 miliar).

Selain basis pendanaan, kini output-nya pun bukan main. Kualitas akting, production design, kualitas naskah, serta berbagai elemen integralnya mulai banyak yang tampil sesombong karya sinema. Benar-benar mind-blowing kalau perpatokan pada rasa gengsi sekian tahun yang lalu.

Di aspek penikmatnya—penonton—toh realita tidak seperti generalisasi pelaku industri di Indonesia.

Nyatanya, penonton menyukai tayangan yang cerdas.

Bukan hanya tontonan ber-layer plot tipis maupun cenderung linier, tapi sudah di level multi-paradoks-layer—dan justru kondisi ini sangat digandrungi.

1000px-westworld-banner-2016-jonathan-nolan-ngepopcom

Jonathan Nolan kembali turun gunung

Seperti sudah saya sebut di bagian sebelumnya, Westworld adalah contoh termutakhir di fenomena semakin meledaknya kualitas serial televisi ini.

Dan nama yang ada di baliknya adalah Jonathan Nolan.

Adik dari Christopher Nolan ini sebenarnya sudah tidak asing dengan dunia serial layar kaca. Sebelumnya dia pernah meramu Person of Interest dan bisa dikatakan cukup sukses.

Namun, apa yang membuat Westworld berbeda? Jawaban sederhana: hype-nya lebih bar-bar!

Terlepas dari HBO yang tidak tanggung-tanggung dalam menggelontorkan dana dan episode pilotnya yang tergolong sangat mahal, serial baru ini banyak digadang-gadang adalah pengganti hype Game of Thrones ketika serial itu sudah selesai. Coba lihat rating user di IMDb yang menyentuh angka 9.2 (per-19 Oktober 2016).

Apakah itu berlebihan? Bisa iya, bisa tidak.

Serial TV Westworld merupakan adaptasi dari film berjudul sama rilisan 1973. Film tersebut berkisah tentang sebuah kompleks taman rekreasi yang memungkinkan para pengunjungnya untuk merasakan sensasi “benar-benar hidup” di masa lalu. Salah satu tamannya dinamai Westworld.

Sesuai namanya, pengunjung yang memasuki taman ini akan merasakan real experience hidup di lingkungan western Amerika. Taman ini tidak hanya mewujud ajang kunjungan wisata, tetapi dengan teknologi yang ada—termasuk untuk para pengisi kotanya—pengunjung bahkan bisa menyatu ke dalam seting masyarakat era itu. Untuk konteks western, pengunjung sampai bisa menjalin romansa dengan “makhluk buatan” yang ada di situ hingga membunuh perusuh dengan senjata api.

Singkat cerita, gagasan Westworld ada di ranah penciptaan dan pengaturan makhluk. Bertindak laksana Tuhan!

Luar biasa ekstrem, bukan? Apalagi ini wujudnya adalah serial yang terdiri dari sekian episode, bukan durasi singkat layar lebar.

Di sinilah kita sekarang, di era ketika imajinasi terliar memungkinkan untuk dieksekusi dan sukses membuat penonton mengeluarkan ekspresi tak terdefinisi.

Sampai di tiga episode awal, penonton Westworld disuguhi rangkaian kisah yang tidak hanya rumit, tetapi juga fascinating! Silakan simak bagaimana gagasan dasarnya diterjemahkan dan diperlebar ke urusan intrik pemberontakan terhadap sang pencipta.

Pada salah satu momen pembuka, serial ini bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa tindakan para pencipta di situ terhadap dunia ciptaannya merupakan representasi penjara dosa-dosa mereka.

Dengan pemahaman ini, tetaplah ada opsi yang bisa dipilih: mau melihat sisi buruk, atau melihat sisi baik? Kesemuanya tergantung “mau jadi tuhan yang baik atau tuhan yang jahat”?

Linear dengan Game of Thrones untuk perkara kualitas plot, Westworld memang memiliki kans untuk menjadi produk sukses berikutnya bagi HBO. Apalagi Jonathan Nolan yang selama ini sering berkolaborasi dengan sang kakak dalam merancang skenario film-film gila berada di kursi mastermind.

Rasa-rasanya, persaingan—kalau mau disebut sebagai persaingan—antarmedium ini bakal semakin gila-gilaan ke depan.

Terbukti, dalam menapaki gagasan ambisius, Jonathan saja semakin mantap bermain di dua kaki.

Ralat formula skala 5: di gambar tertera "...)+2" yang benar adalah "...)+2,5"

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading