Benedict Cumberbatch patut bersyukur sebab sejauh ini dia selalu memperoleh peran yang bikin iri. Labelnya pun tidak pernah jauh-jauh dari sosok cerdas secara intelektual.
Di Doctor Strange, kita kembali dihadapkan pada sosok yang “Benedict Cumberbatch” banget, seolah-olah karakter ini sudah ditakdirkan untuknya sejak lama.
Dalam kemasan lengkap, selain karena faktor aktor utama, film ini sukses memberikan suguhan mewah secara audio-visual. Meskipun, kredibilitas tokoh pendukung serta kontinuitas gagasan menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan.
Doctor Stephen Strange adalah karakter pahlawan super baru di jagat Marvel Cinematic Universe (MCU). Dia adalah seorang dokter yang jenius dan egosentris. Hingga suatu waktu, Strange mengalami kecelakaan fatal yang membuat fisiknya tidak bisa beraktivitas normal seperti sedia kala. Terhimpit oleh tekanan dalam dirinya sendiri, dia memutuskan untuk mencari penyembuhan. Praktik saintifik sudah berada di titik mentok, akhirnya dia mendatangi praktik alternatif di Nepal. Kehidupannya di fase lanjutan berubah drastis!
Mari kita berandai-andai, apa jadinya Doctor Strange apabila dirilis sebelum 2010? Sebab, saya cukup kesulitan membayangkan film ini tanpa pengaruh Inception dan Interstellar—terutama di aspek visual.
Padahal, secara jujur harapan saya cukup tinggi. Sebelumnya saya pikir film ini bakal bisa memberikan pendekatan visual yang lebih visioner, lebih gila—mengingat Doctor Strange itu memang fiksi yang strange, sekaligus beban ilmu pengetahuannya tidak terlampau berat. Sayangnya hal itu tidak terpenuhi. Film ini semacam melakukan repetisi dari karya-karya lain yang sudah ada—dan sialnya yang diadopsi itu sifatnya sangat monumental di sumber asli.
Susah memisahkan visual “perjalanan ruang dan waktu” dari Interstellar. Saya masih ingat betul bagaimana film tersebut menyuguhkan gambaran perjalanan lintas bintang sekaligus gambaran saat terperangkap di dimensi kelima. Atau berikutnya, mustahil menyingkirkan citra “gedung-gedung yang terbolak-balik” dari Inception.
Sampai di sini, perlu dipahami bahwa reka ulang visual yang dilakukan oleh Doctor Strange tidaklah medioker. Sama sekali tidak!
Seperti yang sudah saya sebut di paragraf pembuka, aspek audio-visual (vfx dan editing) dari film ini berada di level super memanjakan mata. Kita mesti sadar sepenuhnya bahwa usaha mewujudkan output tampilan seganas ini ada di level sangat menantang. Namun pada akhirnya, repetisi saja tidak cukup, sebab setelah sekian waktu, gambaran itu tidak akan begitu memorable—“Apa nih yang bakal diingat?” beda kasus dengan kemunculan singkat Spider-Man di Civil War yang justru ikonik. Eman, bukan?
Secara gagasan, Doctor Strange mencoba memberikan perspektif dari belahan dunia lainnya.
Setelah selama ini kita mayor diglonggong oleh berbagai mozaik berpola pikir Amerika juga sedikit Eropa, sekarang Marvel bergeser ke Asia. Hal baiknya, ini bisa memunculkan kekayaan pikir paradoks: saintifik vs ilmu jiwa. Alasan inilah yang membuat kemunculan Doctor Strange tidak bisa serta merta terlibat di kru The Avengers. Masih ada beberapa proses yang mesti ditempuh supaya kehadirannya di lingkungan gerombolan pembasmi kejahataan itu bisa diterima secara wajar. Sedangkan sisi buruknya, ada terlalu banyak informasi yang coba dipadatkan dalam sekali perjalanan. Film ini pada akhirnya memilih bermain dengan dialog-dialog rasa buku teks yang dilemparkan oleh berbagai karakter. Kadang berhasil, kadang terlalu berlebihan.
Di lain hal, saya senang Doctor Strange masuk ke golongan film Marvel yang lumayan “berani” keluar dari formula aman.
Kita akan melihat penokohan Strange yang cenderung kompleks—tipe ini cukup gersang di MCU. Dampaknya, akting Cumberbatch pun tidak bisa hanya terkesan fun saja. Pembawaan multilayer-nya mengingatkan saya pada Captain America 1-2 serta Iron Man 1—bahkan perannya yang lain, sebagai Sherlock Holmes. Lakon prima Benedict ini berhasil diimbangi oleh Rachel McAdams (memerankan Christine, orang kepercayaan Strange). Sedangkan karakter pendukung lain kurang tergarap.
Dari sekian karakter pendukung, Ancient One termasuk yang bikin saya gamang. Di awal dia dipresentasikan dengan menarik pun energi serta martial arts-nya terjaga. Lalu semakin menuju akhir dirinya menjadi sosok yang cukup tidak konsisten dengan titelnya. Seolah-olah keberadaannya di sini tidak dimaksimalkan karena ingin cepat-cepat melakukan suksesi ke Strange–padahal charm Tilda Swinton sudah on point. Permasalahan kapasitas karakter ini bukan hanya dialami Ancient One. Tokoh pendukung lain ikut terimbas, visi mereka kabur sebelum berkembang–termasuk para villain.
Dengan permainan dimensi ruang dan waktu yang digadang-gadang oleh materi promosinya, jangan bayangkan Doctor Strange menjadi film yang rumit.
Film ini tetaplah karya Marvel, yang lebih memilih untuk menjadi menyenangkan supaya tetap di jalan populer. Contoh termudah, aspek guyonannya mirip dengan yang dilakukan oleh Deadpool—meskipun beda hak adaptasi ke layar lebar. Kalau Deadpool memiliki guyonan yang receh, Doctor Strange pun begitu—bahkan di beberapa bagian, film ini melontarkan kalimat yang lebih receh dibanding Deadpool dan film Marvel apa pun, cek adegan perkenalan Wong serta masuknya Beyonce.
Satu lagi, semoga kamu tidak terlalu risih dengan perlakuan terhadap produk sponsor. Di paruh awal, penanganannya lumayan bikin saya mengernyitkan dahi—dari benda yang harusnya sudah tidak ada di meja, tiba-tiba ada, tiba-tiba berdiri sempurna seolah tidak terjadi apa-apa, tiba-tiba muncul lagi padahal tasnya nampak lupa tidak ditenteng, dan semacamnya.
Doctor Strange memperoleh 8 dari 10 bintang.
Film Doctor Strange (2016) telah ditonton pada 26 Oktober 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.