Ada Cinta di SMA (ACdS) menjadi karya sinema yang berhasil memenuhi verdict sebagai film bagus.
Film remaja ini mampu memotret eranya; menyajikan performa musikal yang kontekstual; mempersembahkan drama remaja multi-layer dengan para karakter yang cukup menyimpan kedalaman; dan mampu membuat penonton milenial senyum-senyum sendiri menyadari bahwa ada cukup banyak relatable moments.
Bagi kamu yang belum menonton, mungkin akan langsung berkernyit sambil berguman, “Ah, klise,” kalau cuma membaca sinopsisnya. Film ini berkisah tentang Kiki yang nyaris mengakhiri masa jabatannya sebagai ketua Osis. Sekolah otomatis bakal melakukan penjaringan ketua baru. Kalau sebelum-sebelumnya para calon diusulkan oleh pengurus Osis yang terakhir menjabat, tahun ini mekanismenya adalah terbuka bagi para siswa kelas XI. Pelan-pelan kehadiran Iqbal, Aldi, dan Ayla naik ke permukaan. Iqbal dan Aldi adalah sahabat karib yang juga sering latihan band bareng. Sedangkan Ayla merupakan sosok siswi yang orientasinya ke prestasi akademis. Situasi mulai mengental ketika Iqbal dan Ayla muncul sebagai kandidat calon ketua Osis berikutnya.
Dari track-record database film favorit saya sejauh ini, tema coming of age masuk menjadi salah satu yang teratas. Tema ini tidak bisa dianggap sebelah mata sebab ada sangat banyak elemen “penangkap era” yang harus bisa dileburkan di dalamnya. Itulah mengapa, meski jumlah film semacam ini sangat banyak di tiap tahunnya, namun yang mampu berada di level bagus biasanya jarang. Apalagi ketika masuk di konteks Indonesia.
Selama ini banyak filmmaker Indonesia yang menganggap penggarapan film remaja bisa dilakukan secara serampangan—nampak dari output-nya.
Yang banyak terjadi, perlakukan yang dilakukan adalah ambil aktor dan aktris yang sedang digandrungi, beri penokohan dan naskah yang labil, tambah scoring mendayu-dayu sekaligus seting yang nampak so tumblr, jangan lupa taburi dengan berbagai dialog klise yang dianggap bisa menderai air mata—meski ujung-ujungnya malah bikin pengin ngomong “ini ngapain sih?”
Maka tidak heran kalau kemudian sampai sejauh ini, masih sedikit film Indonesia yang bisa memperlakukan kisah remaja SMA secara layak. Kalau diminta mengingat-ingat, saya dengan senang hati menyebut AAdC menempati posisi puncaknya.
Dengan adanya ACdS di 2016 ini, tidak berlebihan kalau kemudian saya menggelari film ini sebagai suksesor AAdC.
ACdS membuktikan bahwa ketika para cast yang dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan (CJr) memperoleh naskah dan penanganan yang bagus, hasilnya akan di luar dugaan.
Tidak mengagetkan sebab nama Salman Aristo, Haqi Achmad, dan Patrick Effendy ada di balik naskah solidnya. Pun Patrick Effendy bertindak selaku sutradara. Teks film ini tidak hanya mampu meleburkan berbagai fenomena kekinian di lingkungan bocah-bocah SMA, namun berhasil membuat fase menuju konflik yang nampak natural dan menyenangkan.
Sepanjang menikmati film ini, memang ada beberapa scene yang terlihat salah penempatan, tidak sama kualitas gambarnya, atau bahkan berlebihan—misalnya tentang momen resolusi bagi Aldi maupun penyelesaian masalah keluarga Ayla yang terlampau ngebut—tetapi untung masih ada banyak fragmen lain yang tersusun dengan cukup rapi. Untuk bagian menghidupkan karakter, Ayla (Caitlin Halderman) dan Iqbal (Iqbaal Dhiafakhri)-lah yang paling menonjol. Di film ini saya baru menyadari bahwa Iqbaal memiliki kualitas akting yang mumpuni—kehadirannya selalu dinantikan sebab seringkali berhasil memecah suasana dengan berbagai gestur tengil dan seloroh spontannya.
Dan kalau kamu merindukan film yang sukses mengawinkan adegan musikal dengan kisah linier-nya, ACdS mengeksekusinya secara ciamik.
Jangankan untuk level kenaturalan, bahkan secara lirik dan musiknya pun film ini memberikan sajian yang tidak hanya catchy tapi juga penuh pertimbangan—kudos bagi penulis lirik lagu-lagunya. Secara jujur, lagu-lagu yang dibawakan hadir di berbagai adegan karena memang memiliki relevansi dengan jalan cerita. CJr sukses rebranding musik dengan menginsepsikan kesan bocah dan beranjak dewasa yang imbang.
Sebagai sebuah sajian yang meletakkan pelajar SMA sebagai sentralnya, ACdS tidak tampil sederhana.
Film ini berani memperkenalkan karakter berlevel kompleks dua tingkat. Menyenangkan melihat bagaimana ada seorang anak yang di sekolah nampak populer, tetapi di rumah ternyata kehidupannya sangat sederhana—dia tidak malu-malu—bahkan dia sangat lebur dengan orang-orang di dekatnya—termasuk dengan tukang kebon sekolah.
Uniknya, naskah yang ditulis tidak menjadikan ini sebagai bahan eksploitasi kaya-miskin.
Penokohan semacam ini bertebaran di sepanjang durasi. Dan lagi, di sini saya akhirnya bisa melihat momen pemilihan Osis yang nampak sangat riil, bahkan lebih riil dibandingkan yang saya saksikan sewaktu di SMA dulu.
ACdS tidak hanya tampil sebagai sebuah sajian yang menyenangkan—humornya berhasil meski tidak sampai membuat penonton tertawa meledak-ledak—tetapi juga bisa menembus ke level heartwarming—terutama lewat senjata flashback. Akhirnya ada juga film remaja milenial di Indonesia yang berani memposisikan protagonisnya untuk tidak selalu superior. Menarik. Rasanya saya ingin nonton lagi.
Ada Cinta di SMA layak memperoleh 8.8 dari 10 bintang.
Film Ada Cinta di SMA (2016) telah ditonton pada 17 Oktober 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.
[…] ucapannya (yang tepat sasaran). Penampilan prima yang sama yang juga ia tunjukkan kala membintangi Ada Cinta di SMA silam. Begitu pula dengan Vanesha Prescilla sebagai Milea yang tampak tidak kesulitan dalam […]