Wednesday, July 24

ngepop.com – 10 Film Indonesia Terbaik 2018

Secara statistik, perfilman Indonesia tahun ini kembali berhasil memuncaki perolehan penonton film Indonesia tahun-tahun sebelumnya. Lebih menggembirakannya, grafik penonton sudah langsung bertaring sejak di bulan pertama. Rasanya tetap tidak berlebihan kalau kemudian ini menjadi momentum yang tepat untuk semakin memperbaiki kualitas perfilman dalam negeri, bukan malah mengeksploitasinya dengan menggelontorkan film-film dengan kualitas ala kadarnya.

Berikut ini 10 film Indonesia terbaik 2018.

#10 22 Menit

Masih ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang mesti diemban oleh 22 Menit, terutama terkait cacat narasinya. Banyak elemen yang tampil layaknya mozaik, padahal tanpa akrobat macam itu kisahnya bisa lebih membumi. Belum lagi masalah absennya banyak detail terutama motif yang kurang tergali. Namun, usaha para pembuatnya untuk memvisualkan kejadian yang masih cukup segar di pikiran masyarakat perlu diacungi jempol, semakin menambah jangkauan genre film Indonesia. 7.8/10

#9 The Gift

*) The Gift adalah sebuah cerita antara perempuan yang menyukai kegelapan dan laki-laki yang mengurung diri dalam kesendirian. Film ini sepenuhnya mengeksplorasi rasa dari berbagai indera sebelum ikatan romantis itu muncul. The Gift ini film yang manis tapi pedih. Setiap tokoh memiliki latar belakang dan alasan yang kuat untuk muncul dalam film. Tidak ada yang hanya “tempelan”. 8/10

#8 A Man Called Ahok

Struktur narasi film A Man Called Ahok masih kelihatan tersusun oleh banyak fragmen pendek, itu memang konsekuensi film bercakupan linimasa cukup panjang–dan beberapa kali bermasalah. Namun, sebagai sebuah karya sinema, film ini tampil jujur, apa adanya, dan berani vulnerable. Sebagai sajian biografi, film ini tidak mencoba untuk menyelimutinya dengan gula-gula semu. Malahan ia memberikan ruang yang cukup luas bagi penonton untuk menilai sendiri bagaimana untuk menyikapi masing-masing karakternya secara apa adanya. 8/10

#7 Aruna & Lidahnya

Sebagai sebuah sajian tampak muka, Aruna & Lidahnya disajikan di tatakan yang cakep. Ia mampu menuturkan maksud novelnya dengan lebih “accessible” dan lentur, hanya saja kegugupan film ini terkait betapa tipisnya benang merah narasinya tidak cukup baik disembunyikan. Kalau bukan karena gambarnya, film ini sungguh kurang “Edwin”. Film paling sederhana di pustakanya. Di lain hal, akhirnya di sini saya bisa lihat Dian Sastro yang lebih lepas ekspresinya. 8/10

#6 Kulari ke Pantai

Mira Lesmana dan Riri Riza semacam merevisi Susah Sinyal-nya Ernest melalui Kulari ke Pantai ini. Mereka sudah sangat ahli tentang bagaimana membuat film Indonesia bertema keluarga (yang melibatkan anak-anak) dengan rapi dan menyenangkan. Tontonan keluarga yang komplit dan mampu menangkap era. 8.2/10

#5 Sekala Niskala

Sekala Niskala adalah tentang melepaskan dan elegi-elegi yang menyertainya. Sebuah presentasi yang versatil. 8.5

#4 Dilan 1990

Dilan sebagai sebuah film adalah keramahan. Di installment 1990-nya ini, kita disuguhi pengisahan yang sederhana, tidak neko-neko, tapi tetap efektif sekaligus hangat berkat chemistry lumer kedua penggawa utama: Iqbaal dan Vanesha sebagai Dilan dan Milea. Dilan 1990 adalah salah satu contoh yang baik di mana kita bisa dengan mudah memaafkan kekurangan teknis produksi dan urgensi narasi ketika penyampaian substansinya bisa tampil handal. 8.5/10

#3 Milly & Mamet

Ernest sukses melepaskan Milly & Mamet dari intimidasi Ada Apa dengan Cinta? tanpa perlu bertindak gegabah. Dia mampu memberikan tribute yang sepantasnya tapi efektif dengan tidak menutupi maksud utama film ini. Naskah, alokasi karakter, kuota humor, dan chemistry-nya sungguh memanjakan penonton sampai penghujung. Matang. 8.8/10

#2 Love for Sale

*) Ide cerita film ini asyik, banget. Kesendirian, teknologi, media sosial, hubungan antarmanusia, cinta, dan zona nyaman. Komponen yang merupakan bagian dari keseharian yang biasa-biasa saja, bisa diramu menjadi cerita tentang Richard dan hidupnya yang berubah setelah ‘memesan’ Arini. Arini sendiri adalah sosok yang benar-benar menghipnotis sepanjang film. 8.8/10

#1 Kucumbu Tubuh Indahku

Terlalu naif kalau menganggap akar Indonesia adalah masyarakat hitam putih. Garin Nugroho dan karya terbarunya ini kembali menawarkan perspektif yang sangat fluid tentang relasi manusia dan manusia lainnya. Relasi gemblak, warok, maskulin, feminin, dan variasi lainnya yang tidak mengenal cetakan moral karena sesungguhnya moral itu mendiskriminasi. Sebuah festival ekspresi yang patut dirayakan. 9.2/10


Tulisan bertanda *) dikutip langsung dari review Hanifa Eka.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading