Wednesday, July 24

Resensi Buku | “Amba” 41 Tahun Menunggu dan Mencintai Hantu

Judul: Amba | Penulis: Laksmi Pamuntjak | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Cetakan ke-4 (edisi baru), Oktober 2013 | Jumlah Halaman: 577 | ISBN : 978-979-22-9984-7

“… Bertahun-tahun aku menunggu, nggak pernah paham mengapa ia menghilang, tak pernah paham apa yang terjadi pada Bhisma, atau bagaimana ia sampai ke pulau ini, atau apakah ia masih hidup, dan kalau ia mati bagaimana ia mati, mengapa dia nggak kembali ke aku ketika ia punya kesempatan tahun ’79, mengapa selama 41 tahun aku menunggu dan mencintai hantu.” – Amba, halaman 455.

Kutipan di atas sedikit banyak telah menggambarkan inti cerita pada novel ini. Dengan mengambil latar belakang sejarah, novel ini mengisahkan cerita cinta dan hidup seorang Amba Kinanti. Amba yang merupakan anak sulung dari seorang guru di Kadipura. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua. Anak perempuan yang keras kepala, mandiri, berkemauan sendiri dan tak jarang pula memesona.

Cerita dituliskan dengan alur yang maju-mundur. Namun, pembaca tak perlu khawatir sebab, permainan alurnya sama sekali tidak membingungkan. Kisahnya dimulai dari tahun 2006, di mana Amba dengan seorang laki-laki, Zulfikar Hamsa pergi ke Pulau Buru. Ia berangkat ke sana tak lain adalah untuk mencari orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak perempuan di luar nikah –yang kemudian diberi nama Srikandi. Laki-laki tersebut ialah Bhisma Rashad–yang berperawakan jangkung dan tampan, seorang dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang dikarenakan ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru.

Awal perjumpaannya dengan Bhisma sendiri datang saat ia memutuskan untuk pergi ke Kediri. Malangnya, percintaan mereka terputus dengan begitu saja, dengan begitu tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan di Ureca, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru kemudian, pada kunjungannya di tahun 2006, Amba tahun kenapa Bhisma tak kembali.

Lega dan penuh haru saya rasakan secara bersamaan seusai novel ini habis terbaca. Dan ijinkan saya mengutip pernyataan Profesor Saskia Wieringa dari The Jakarta Globe, bahwa Laksmi Pamuntjak mengukuhkan dengan tegas dirinya sebagai salah satu penulis sejarah Indonesia terfasih.

Narasinya? Ah, tentu, sangat enak untuk dibaca. Penokohannya? Karakter tiap tokohnya –Samuel Lawerissa, Adalhard Eilers, Manalisa, Salwani Munir dll, dibuat sedemikian kuatnya. Kemunculan dari masing-masing tokohnya pun dibuat sedemikian mulus, benar-benar rapi. Lalu, tentang emosi? Tentu saja tak perlu diragukan lagi bahwa emosi yang coba untuk disampaikan kepada para pembaca begitu mengena. Betapa penggambaran akan “masa itu” seolah begitu kuat dan riil.

Poin plus lainnya, yang tak bisa diabaikan, dari novel ini adalah bahwa biasanya seorang penulis akan lebih condong ke salah satu arah saja –dalam hal ini bisa mungkin latarnya atau kisah cintanya. Namun tidak dengan novel ini, porsi antara keduanya sama besar. Sekilas, nampak luar ide cerita yang diusung mungkin terlihat sederhana. Kisah cinta sepasang manusia yang terpisahkan oleh nasib dengan latar belakang Orde Baru. Namun, dibalik kesederhanaannya tersebut di dalamnya justru banyak tersimpan beragam kerumitan, yang bagusnya dapat disampaikan oleh sang penulis dengan cara yang jauh dari kata rumit. Lepas dari itu, harus saya akui bahwa ada beberapa part yang menurut saya temponya berjalan cukup lambat. Tapi, secara keseluruhan –pada bagian tersebut, tidak ada kesan yang menjemukan. Hanya sekedar terasa lama saja, karena banyak detail yang diberikan.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading