Wednesday, July 24

Resensi Buku | “Pulang” A Return and An Exodus

Judul: Pulang | Penulis: Leila S. Chudori | Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) | Cetakan ke-5, September 2014 | Jumlah Halaman: viii + 461 | ISBN: 978-979-91-0515-8

“Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.” – Lintang Utara, halaman 197.

Seorang Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengatakan bahwa kata “pulang” dari novel ini –yang mana juga menjadi judul, dapat diartikan sebagai “a return” maupun “an exodus”. A return –pulang dalam artian sebenarnya, yang mana dikehendaki oleh Dimas Suryo, dan an exodus –sebuah petualangan atas tanah yang sama sekali belum dimengerti, bagi Lintang Utara. Dan saya pribadi, tentu sangat setuju dengan pendapat tersebut. Saya pikir pendapat yang diungkapkan oleh Robertus Robet tersebut sudah menggambarkan isi dari novel ini sendiri secara keseluruhan.

Tema yang diambil oleh penulis untuk novel ini sendiri terbilang cukup menarik, yakni kisah cinta yang dibungkus dengan isu politik. Kisah cinta antara Dimas Suryo – Surti Anandari – Vivienne Deveraux, Lintang Utara – Narayana Lafebvre – Segara Alam, dan beberapa tokoh lainnya yang kisahnya tak kalah rumit. Singkatnya, novel yang mengambil latar tempat di Indonesia dan Perancis ini berkisah mengenai kehidupan Dimas Suryo dan juga teman-temannya yang “ditolak” oleh negaranya sendiri. Dan seperti pada kutipan yang saya tuliskan diawal, meskipun ditolak dia tetap akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.

Lalu, untuk konflik sendiri menurut saya cukup unik. Terkesan rumit dan juga sederhana secara bersamaan. Semua dituliskan dengan sangat detail. Penggambaran suasana chaos yang terjadi padah tahun 1965 –tragedi G 30 S PKI, 1968 –unjuk rasa terbesar di Perancis, dan 1998 –kerusuhan terbesar dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun, tergambarkan dengan sangat jelas. Tidak setengah-setengah, sehingga seakan pembaca juga dihadapkan dan diseret masuk ke dalam ke-chaos-an kala itu.

Meski memang ada beberapa part yang ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun, secara keseluruhan novel ini cenderung lebih banyak ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama melalui kacamata Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, dan Bimo Nugroho. Dan hal tersebut tentu menjadi poin plus tambahan bagi novel ini. Selain itu pula, meski ditulis dengan alur yang maju-mundur serta banyak terdapat selipan fragmen-fragmen cerita dalam bentuk surat, namun pembaca di sini tetap akan dengan mudah dapat mengetahui jalannya alur.

Walaupun sebetulnya cerita ini secara keseluruh berkisah mengenai kemuraman nasib eksil politik dan para korban tragedi 1965, namun kita tetap akan menjumpai bagian yang menyenangkan dan bahkan juga lucu. Seperti misalnya saat Nugroho “mengejar-ngejar” Dimas agar mau untuk di terapi akupuntur olehnya atau saat Andini mengucapkan “O My God” berulang-ulang di depan Rama, kakaknya, hingga membuatnya jengkel. Singkat kata, emosi yang dituliskan dalam novel ini dapat tersampaikan kepada para pembaca dengan sangat baik.

Yang sedikit menyebalkan adalah bahwa ending cerita kembali diserahkan pada interpretasi para pembaca. Tapi, kalau saya boleh menentukan akhir cerita, maka akan saya tuliskan jika Lintang Utara lebih memilih Segara Alam. Bagi saya penggambaran Lintang dengan Alam di sini lebih menarik ketimbang jika Lintang bersama Nara. Menurut saya, Nara –meski baik dan begitu sempurna untuk dideskripsikan, adalah sosok yang too-good-to-be-true dan kurang cocok dengan kepribadian Lintang yang ekspresif. Selamat membaca!

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading