Wednesday, December 25

Resensi Buku | “Glamo Girls” Berjiwa Sosial Tinggi

 “Boleh jadi, dulu mereka termasuk siswi yang pemilih dalam berteman. Tapi, kita tak boleh menghakimi kesalahan itu seumur hidup karena pada hakikatnya, setiap detik waktu akan membawa perubahan. Begitu juga dengan Glamo Girls.” – halaman 197.


Saya pikir kutipan di atas cukup representatif untuk memberikan sedikit gambaran tentang isi cerita dalam novel dengan sampul berwarna hijau ini, Glamo Girls. Sepulangnya Gina, Lala, dan Monik, dari mengikuti bakti sosial di Pulau Sabira, kepribadian mereka sedikit banyak ikut berubah. Bagusnya, perubahan pada diri mereka menuju ke arah yang positif. Mereka tak lagi mengadopsi gaya hidup membuang-buang uang, memilih-milih dalam berteman, dan tak peduli pada lingkungan sekitar.

Awal terdamparnya mereka di Pulau Sabira sendiri bermula atas ide Adam. Bersama kedua sahabatnya –Bastian dan Tomy dan teman-teman sekelasnya di SMA Labsky, mereka bersepakat untuk mengajukan nama Glamo Girls –geng yang terdiri dari Gina, Lala, dan Monik, untuk menjadi perwakilan kelas dalam acara baksos tahunan di Pula Sabira, Kepulauan Seribu, selama satu minggu.

Alasan Adam, Bastian, dan Tomy melakukan hal tersebut karena mereka merasa risih dengan tingkah Glamo Girls yang selalu “mengekor” mereka. Ah, ya! Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Gina, Lala, dan Monik itu menaksir kepada tiga cowok ganteng di kelas mereka, yakni Adam, Bastian, dan Tomy itu sendiri. Bisa dibilang mereka bertiga sangat agresif dalam menarik perhatian masing-masik cowok yang ditaksirnya, hingga para cowok tersebut merasa risih.

Di Pulau Sabira sendiri, Gina –si pemilik hidung mancung, Lala –si hitam manis yang jutek, dan Monik –yang sering telmi, tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana milik Bu Inah. Kamar tempat mereka tidur hanya berisikan balai-balai kayu tanpa kasur dan hanya beralaskan tikar pandan yang bagian ujungnya sudah rusak. Mendapati hal tersebut sontak ketiganya kaget dan tentu saja merasa sangat tidak nyaman.

Meski pada awalnya mereka sempat minta dipulang ke rumah masing-masing, namun pada akhirnya mereka betah juga tinggal di sana. Bahkan pada saat menjelang perpisahan mereka menangis haru semalaman.

Dari segi teknis, kover novel ini memiliki kesan yang menarik. Menarik di sini maksudnya cenderung pada pemilihan warna sebagai latar kover yang cukup mencolok –meski warna hijau yang digunakan tergolong soft. Meski begitu, gambar pada kovernya menurut saya cenderung pasaran. Lebih dari itu, untuk tata letak halaman dalam –seperti pada halaman 12, bagi saya terlalu mengganggu dan lagi justru menimbulkan kesan penuh sehingga terasa seperti tak ada ruang untuk bernafas.

Selain itu, masih terdapat beberapa kesalahan penulisan di dalam novel ini. Seperti pada halaman 84 di mana langsung tertulis menjadi lansung (tanpa huruf “g” di tengahnya). Kemudian, sekedar saran saja, mungkin akan lebih baik jika ukuran huruf pada halaman ucapan terima kasih dibuat lebih kecil. Soalnya, ukuran huruf yang digunakan terasa agak sedikit njomplang ketika dibandingkan dengan ukuran huruf untuk penulisan ceritanya itu sendiri.

Lalu, beralih ke segi isi cerita saya pikir ada suatu hal yang “unik” di sini.

Keunikan tersebut berasalah dari bagian penceritaannya yang ditulis dengan gaya kocak. Sebenarnya, unik yang saya maksud di sini dapat berarti dua hal. Pertama, penulisan dengan gaya kocak di sini tentu menjadikan novel ini semakin renyah untuk dibaca dan berbeda dibanding dengan novel-novel dengan tema sejenis. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga dapat menjadi bumerang. Sebabnya, pengemasan cerita yang ditulis dengan kocak tersebut justru menjadi kurang memperlihatkan kesan yang mencerminkan bahwa ketiga tokoh utama di sini adalah ABG-ABG dengan gaya hidup glamor.


Judul: Glamo Girls
Penulis: Ragil Kuning, dkk.
Penerbit: Senja
Terbit: 2015
Tebal: 212 halaman
ISBN: 978-602-255-61-14

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading