Saya harap kita sudah sepakat bahwa tidak ada suatu yang benar-benar baru di dunia ini. Ketika ada alternatif kebaruan, prosesnya merupakan komodifikasi dan kolaborasi dari berbagai unsur yang sudah lebih dulu ada sebelumnya–disengaja maupun tidak. Tetapi bukan berarti suatu yang sudah ada tidak bisa diperlakukan repetitif. Dalam ranah film, model penceritaan juga bisa berada di posisi yang cukup riskan semacam itu–kemungkinan singgungan dan pengulangan gagasan selalu ada.
Demolition sejak awal berusaha keras untuk melakukan representasi seperti tersebut. Tetapi, film ini melakukannya dengan sangat sembrono.
Demolition berkisah tentang Davis Mitchell, seorang yang kehidupannya mapan. Dia bekerja di sebuah perusahaan finansial yang dikomandoi oleh sang mertua. Materinya lebih dari cukup. Hingga suatu ketika, terjadi sebuah insiden kecelakaan yang menewaskan isterinya–sedangkan Davis hanya mengalami luka ringan. Dimulailah berbagai pengungkapan kejanggalan dari masing-masing karakter.
Betapa saya mati-matian mencoba untuk mencintai Demolition, sayang hasilnya di luar kuasa.
Naskah film ini berusaha “too hard” untuk menjadi cerdas, namun hasilnya malah berjalan petaka. Premisnya mengingatkan pada The Vow, dan sebetulnya premis Demolition cukup menarik perhatian saya. Apalagi pengantar film ini dibawakan dengan cukup baik dalam mengundang tanda tanya karena lapisan dialog pengiring. Yang membuatnya berantakan adalah film ini tidak tahu bagaimana cara menyampaikan gagasan dengan baik dan bijak. Cara penyampaiannya berada di level salah–sangat mengagetkan karena sang sutradara, Jean-Marc Vallee, adalah orang di balik sukses kualitas Dallas Buyers Club dan Wild .
Pertama, penyampaian ini terkesan membuat penonton tidak boleh menyuarakan perspektifnya–toh, terjadi ketidaktuntasan penyampaian di banyak hal. Sia-sia dan bakal terpantul kembali. Hanya ada kemarahan dan kemarahan tak berujung–demolition–, kurang nyawa, urgensi emosi, pun tanpa resolusi memadai. Kedua, para penggawanya seolah lupa bahwa seabstrak apa pun pembawaan sebuah film, kontinuitas pastilah terjadi.
Demolition gagal membangun bagian integral ini.
Gambaran lebih lanjutnya, film ini bermain-main dengan layer-layer.
Menarik? Bakal iya kalau film ini bisa fokus dengan inti gagasannya. Karena layer inilah, kemudian mastermind pengisahan Demolition berusaha menambah berbagai elemen sekenanya di sepanjang durasi berjalan. Naas, dia lupa bahwa setiap kurung buka, harus ada kurung tutup–sesamar apa pun. Yang ada adalah, keberadaan elemen tambahannya terkesan remeh temeh, bahkan tidak perlu.
Salah satunya, ketika di salah satu bagian, film ini mencoba mengangkat tentang isu LGBTQ. Formulanya sudah tersedia, namun pembangungan fondasinya rapuh. Akibatnya, film ini gagal mengeksplorasi–paling tidak sampai di level cukup–dan menyebabkan munculnya kesan, “Sebenarnya, ini masih cemen, mendingan nggak usah ada sekalian.”
Menyaksikan Demolition kita semacam menyaksikan orang yang mencoba sok-sokan jadi skeptis maupun kritis pada banyak hal meski bekalnya tidak memadai.
Pengarahan yang tidak jelas justru membuat tabrakan antar antitesis yang semestinya nampak menarik, jadi terkesan berlalu begitu saja. Aktor sekelas Jake Gyllenhaal pun kentara kebingungan, dia sebenarnya sedang melakukan apa, sih? Satu-satunya aspek yang berhasil membuat film ini menarik adalah departemen visualnya, terutama production design dan sinematografi. Berkait plot, agaknya Demolition mesti belajar banyak dari film lain yang penyampainnya saya anggap mirip–bedanya yang ini cukup berhasil–, Disconnect (2013).
Demolition memperoleh 6 dari 10 bintang.
Film Demolition (2016) telah ditonton pada 7 Juli 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.
Review ini sebelumnya tayang di laman tersapacom sebelum akhirnya merger ke ngepopcom dan telah dibaca lebih dari 700 visitor.