Saturday, December 7

Review Film | “Ghostbusters (2016)” Sampah

Mencurigakan kalau ada penonton yang masih merasa baik-baik saja pasca menandaskan Ghostbusters.

Film ini sungguh humiliating. Penghinaan bar-bar bagi para penontonnya. Gagal total. Paul Feig, sehat?

Ghostbusters merupakan reboot dari film jadul berjudul sama. Film ini berkisah tentang sekelompok orang–kebetulan sekarang lead-nya diisi oleh empat perempuan–yang percaya akan adanya hantu. Entah sekadar percaya, pernah mengalami, maupun baru saja mengalami.

Karena beroperasi di Amerika yang aliran positivisme dalam keilmuannya sangat kental, mereka tetaplah dituduh mengada-ada. Meski segala pirantinya seolah sudah menggunakan landasan fisis-matematis. Hingga suatu ketika, salah satu sesi pembuktian menumpahkan malapetaka di luar antisipasi.

banner-ghostbusters-2016-ngepopcom

Sungguh, sungguh, dan sungguh gunungan tanda tanya serasa menggumpal di awang-awang kalau mengingat Ghostbusters merupakan garapan Paul Feig.

Sutradara yang paling tidak tiga film terakhirnya–Bridesmaid, The Heat, dan Spy–saya puji habis-habisan karena memberikan napas segar di genre komedi. Pengarah yang sukses memoles Melissa McCarthy sampai mampu “ngomong” hanya lewat gesturnya. Orang yang tahun lalu saya puji “outside the box” berkat garapan Spy.

Kalau saja kamu belum menonton Ghostbusters rilisan 2016, saya hanya ada satu saran: jangan.

Jangan hinakan dirimu sebab ada sangat banyak aspek yang berpotensi melancarkan keluarnya berbagai stok umpatan, saking buruknya. Bahkan, sejak teks judul muncul, film ini sudah nampak nanggung. Tiba-tiba judul muncul pun menghilang tanpa adanya latar sekuens dan signifikansi.

Padahal, di awal saya sempat dibuat penasaran karena film ini berusaha menubrukkan pengetahuan eksakta dengan perkara supranatural. Melalui salah satu tokoh utama yang dulu percaya dengan hantu lalu semacam pensiun dan kemudian menjadi pengajar akademis, film ini mulai merangkak ketika dirinya harus kembali berhadapan dengan materi gaib. Menarik? Potensial.

Naas nasib buruk keburu menghampiri. Belum lancar merangkak, film ini sudah tersungkur duluan dan terus terguling hingga penghujung durasi–literally penghujung durasi.

Film ini pun mencoba dengan sangat keras untuk menjadi komikal.

Keempat perempuan pemain utama yang biasanya bisa tampil menarik,  hanya mampu menyuguhkan performa medioker karena memang naskah dan klausul sebab-akibatnya masih meh. Sedangkan tokoh tambalannya yang dimainkan oleh Chris Hemsworth juga tidak terselamatkan. Luar biasa murahan. What are you really doing, Chris???

Ghostbuster seolah ingin tampil sebagai film yang mengangkat gagasan utama “pembuktian”.

Menampakkan ketidaksetujuan pada konsensus komentar di internet, villain yang sok misterius, gagasan feminisme, sampai patriotisme. Semuanya di atas kertas nampak muluk-muluk.

Hingga semuanya terlanjur hancur berkeping-keping karena kewalahan tanpa mampu menyelamatkan satu bagian pun. Yang nampak justru citra film ini sebagai sajian kolot nan penuh nonsense. Jangan mengharapkan adanya kebaruan dan komedi pengocok perut di sini, apalagi urgensi–bakal kecewa habis-habisan. Dampaknya, visual effect dan usaha menakut-nakutinya jadi tidak berguna sama sekali.

Review ini bisa sangat panjang andai saya rela menghabiskan waktu untuk mengeluarkan seluruh hujatan. Cukup. Paling tidak beberapa paragraf di atas sudah mewakili kekhawatiran mayor yang menyumbat benak. Tidak terbayangkan bahwa di 2016 bakal berjumpa dengan film sesakit ini. Sampah.

Ghostbusters memperoleh 5 dari 10 bintang alias 0 dari 5 bintang.

Film Ghostbusters (2016) sudah ditonton pada 20 September 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading