Berbekal atmosfer klaustrofobia, Train to Busan cukup berhasil menjaga ritme supaya terus mengintimidasi.
Film ini serasa gabungan tipikal film zombie, representasi hantu khas Asia Timur, Contagion, dan Snowpiercer. Yang membuatnya lumayan menjengkelkan adalah banyaknya momen dramatisasi tipe tertegun. Pun karena terlalu asyik dalam membangun rasa tertekan, film ini justru lupa tentang alasan-alasan fundamental dalam plotnya.
Train to Busan berkisah tentang seorang anak yang ingin berlibur ke Busan. Sang ayah–petinggi perusahaan–sudah lama berjanji untuk mewujudkannya namun selalu berakhir di janji karena sibuk pada pekerjaan. Kali ini keinginan si anak jadi kenyataan. Mereka menggunakan kereta sebagai moda transportasinya. Secara tidak terduga di tengah perjalanan nampak kejadian aneh: muncul banyak zombie, dan… menular.
Film ini berhasil mendapatkan atensi saya lewat pembukanya.
Ketika film ini menampilkan zombie yang bukan manusia. Melainkan: hewan! Sayangnya impresi di awal itu hanya semacam kembang api, temporer, hiasan. Sebab di sepanjang durasi, zombie hewan ini tidak dimunculkan lagi. Dan hal ini cukup janggal mengingat semestinya akan ada banyak hewan yang turut tertular.
Jujur secara keseluruhan, Train to Busan kurang bisa membuat saya berdecak kagum. Faktor utama karena sebelumnya–belum lama–sudah ada dua film dengan gagasan serupa. Contagion terkait penularan penyakit dan Snowpiercer dengan drama-thriller di dalam kereta. Keduanya sudah sangat berhasil dalam menciptakan efek ketakutan dan perasaan tidak nyaman melampaui Train to Busan. Lebih-lebih untuk gagasan yang dibawa oleh Snowpiercer: monumental—belum ada film yang pernah mengeksekusi gagasan seliar itu.
Sampai di sini, bukan berarti Train to Busan tidak memiliki daya tarik.
Seperti yang sudah saya sebut di paragraf pembuka, film ini mampu menampilkan perawakan zombie “khas” Asia Timur—kombinasi hantu Asia Timur dan zombie yang membedakan dengan zombie produksi barat. Zombie yang di sini juga lebih tahu situasi dan kondisi serta lebih agresif. Terlepas dari minimnya klarifikasi tentang pemicu kejadian—diperlakukan hanya sambil lalu.
Lainnya, film ini berani tampil tidak populer–in a good way–dengan menjadi tega, sadis, dan menciptakan karakter yang memiliki penokohan-gagasan sangat menyebalkan. Kita akan diajak untuk berhadapan langsung dengan entitas keras kepala, penghasut egoisme, dan pionir tindakan bodoh.
Di kondisi sesuai takaran, perlakuan dramatis yang ditaburkan sebenarnya tepat guna.
Sayangnya terlalu banyak usaha dramatis yang ingin disematkan. Lebih gagal paham, tindakan ini mengonsumsi cukup banyak waktu.
Sebagai gambaran singkat—sesuai pembuka tulisan ini—momen tertegun—layaknya orang yang tidak bisa berpikir meskipun sudah terdesak kepanikan—ada di mana-mana. Lebih konkrit di salah satu bagian: mengapa mereka sibuk menyegel pintu depan ketika pintu belakang justru sudah jelas-jelas didesak gerombolan zombie—yang semestinya lebih mengkhawatirkan—? Saya geregetan dan capek dibuatnya—masih ditambah yang lain-lain.
Film Train to Busan memang tepat dalam membidik rasa debar.
Tapi kamu jangan lupa buat mengantisipasi banyaknya sekuens di luar refleks—sekali pun dirimu sudah mencoba ikut memposisikan diri sebagai orang yang panik. Leganya, secara personal penutup yang disuguhkan cukup memuaskan dan mampu berbicara banyak.
Train to Busan memperoleh 8 dari 10 bintang
Film Train to Busan (2016) telah ditonton pada 12 September 2016, review resmi ditulis pada 15 September 2016.