Film model heist itu formulatik. Tidak berarti gampang dibikin, malahan potensi cacat logikanya lebih riskan.
Substansi The Professional tampil menyenangkan dan mengesankan, terlepas dari keterbatasan-keterbatasan teknikalnya.
Film garapan Affandi Abdul Rachman ini berkisah tentang Abi yang mesti mendekam di penjara karena diseting oleh Reza, pesaing bisnisnya. Sekian waktu berselang, dia akhirnya keluar dari jeruji besi dan berencana melakukan balas dendam dengan cara merampok aset milik Reza. Motifnya sederhana, bukan melulu tentang materi, tetapi supaya Reza merasakan derita. Perjalanan tidak mudah, sebab keduanya sama-sama lihai bermain strategi.
Sebagai sebuah sajian aksi-laga, film garapan MNC ini berada di jalur yang tepat.
Dia berfase cepat dan perhatian atas detailnya cukup baik. Dimulai dari adegan melarikan diri yang memiliki fase bertaraf rapi, adrenalin yang disuntikkan ke penonton tidak pernah kelebihan dosis.
Menimbang pilihan aktor yang digunakan di sini, bisa jadi inilah salah satu cacatan paling krusial yang saya tekankan. Naskah The Professional masih terlihat ragu-ragu dalam penggunaan bahasa tuturnya. Penyebab utamanya: banyak karakter prianya yang memiliki artikulasi kurang jelas ketika berbicara kalimat panjang. Terutama Richard Kyle dan Fachri Albar.
Ketika terjadi kondisi semacam itu, mestinya perlu adanya langkah antisipasi yang dilakukan. Tidak ada salahnya untuk merombak keseluruhan dialog (untuk dua nama di atas) menjadi bahasa Inggris seutuhnya. Mengingat ini adalah film aksi pun demi menghasilkan output gestur serta interaksi yang lebih natural, mestinya hal itu sah-sah saja.
Dan apa mau dikata, film heist yang berkiblat pada Hollywood jarang yang bisa lepas dari peran perempuan yang terpinggirkan. Dominasi maskulinitas di sini sangat kentara, terutama ketika masih saja bisa dengan mudah ditemui ujaran-ujaran kosong yang mengarah ke seksis. Pemosisian ini agak disayangkan karena sebenarnya sosok perempuan di The Professional memiliki kapasitas penokohan yang juga “profesional”.
Berbicara tentang checklist bagian teknis yang sempat disinggung di awal, kemasan The Professional cukup komplit. Scorring-nya representatif, visualnya tak lupa memasukkan elemen slow motion yang belakangan sedang sangat digandrungi, plus adegan kejar-kejaran tidak absen. Hanya saja, untuk poin terakhir tersebut, pembawaannya terkesan ala kadarnya. Para karakter seolah ragu melakukan baku tembak dan terkesan terlalu “sayang” dengan property yang digunakan. Andai bagian ini bisa lebih sengit diperlihatkan, tentu saja hasilnya bakal lebih mengesankan.
The Professional memang tidak menjadi film aksi yang otentik. Ada banyak adegan maupun elemen yang begitu identik dengan film-film Hollywood (terutama James Bond dan Mission: Impossible). Namun, kehadirannya cukup memberikan napas baru di perfilman Indonesia yang sampai hari ini masih cukup jarang menyentuh ranah narasi serupa.
Kekikukan pemain, kejanggalan dialog, hingga masih kurang matangnya efek visual di beberapa bagian, cukup termaafkan karena logikanya tidak bebal.
The Professional memperoleh 8 dari 10 bintang