Thursday, July 25

Review Film | “Arrival (2016)” Klenik atau Ilmiah?

Kalau seumpama Arrival diadaptasi di Indonesia, kemungkinan besar terma “cenayang” atau “dukun” akan ikut nebeng di judulnya. Namun karena ini adalah buah karya Hollywood asal Amerika, pesan klenik pun harus dibalut sesains mungkin. Untuk melakukannya, tak tanggung-tanggung film ini menjadikan linguistik dan sains sebagai duta utama demi mengikis ego chauvinisme.

Film ini berkisah tentang Louise, seorang ahli bahasa yang kebetulan harus kembali berurusan membantu pemerintah. Kali ini tugasnya bukan lagi menerjemahkan “siasat” intelijen berbahasa asing, tetapi melakukan komunikasi dengan alien yang tiba-tiba mampir ke bumi–kehadiran mereka mengakibatkan gelombang kepanikan dan ketakutan di masyarakat. Mereka–alien itu–tidak cuma berada di satu tempat. Mereka menunggangi “kendaraan” berbentuk seperti bulan sabit berjumlah 12 dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Bersama Ian, seorang ilmuwan positifis, Louise mencoba berkomunikasi dengan para alien tersebut.

banner-arrival-2016-ngepopcom

Arrival sejak awal selalu tentang komunikasi.

Karena komunikasilah, akan muncul banyak pandangan dan hal-hal baru yang tidak terduga. Sama tidak terduganya dengan plot di film ini yang memperlakukan penontonnya supaya terus penasaran pelan-pelan sampai nyaris di penghujung durasi, dan setelah itu dibuat belingsatan lewat konklusinya. Kalau kamu pernah menonton atau mengikuti film-film karya Denis Villeneuve sebelumnya (Incendies, Prisoners, Sicario), pasti familiar dengan formulanya.

Perlu diperjelas, ini adalah film alien.

Anehnya, meskipun saya melahap semua genre film, pengisahan tentang alien jujur bukan favorit saya. Penyebabnya tidak lain karena kebanyakan film alien selalu menjadikan “serangan bar-bar” sebagai jualan utama.

Memang wajar ketika ketidaksiapan akan kedatangan para makhluk asing itu berujung pada ketakutan dan penyerangan-penyerangan. Sayangnya banyak yang langsung memposisikan alien sebagai villain. Mereka sering digambarkan senang merusak dan berbuat kekacauan–dengan tidak mendiskreditkan film-film yang menjadikan alien sebagai karakter berhati semacam E.T..

Sedangkan di Arrival, tindakan destruktif itu dikesampingkan.

Kita malah disuguhi “dokumentasi panjang” tentang proses memahami tamu asing yang tidak diundang. Kita diajak untuk melihat bagaimana “bahasa universal” versi Arrival tercipta. Meniti pemetaan tapak demi tapak, kata demi kata, hingga kalimat demi kalimat. Melihat proses kebimbangan Louise dan tim di awal, ketika mereka–manusia dan alien–sama-sama buta komunikasi satu sama lain, hingga menyaksikan betapa bahasa ternyata adalah “senjata” paling ampuh sejagat raya, bukan sains seperti ujaran Ian.

Karena pilihan cerdas inilah bisa dikatakan Arrival menang banyak.

Mimpi apa Amy Adams bisa memperoleh peran yang dia banget di sini? Kita bisa menyaksikan transisi sosoknya yang keibuan, rapuh, bahkan begitu teguh dalam satu paket. Pun Jeremy Renner sebagai Ian di sini sukses menjadi karakter yang loveable dan tidak sekaku biasanya. Ditambah dukungan departemen teknis–visual dan audio–yang sukses tampil sederhana tapi sangat berkesan.

Arrival memang memiliki fase yang lambat, bagi sebagian orang ini bisa jadi masalah. Apalagi bagi penonton yang mengharapkan adanya “keributan nyata” yang dipertontonkan–bisa dipastikan akan kecewa. Namun di luar aspirasi standar yang ada di kepala, film ini menawarkan hal yang lebih besar, makna perjalanan personal yang lebih esensial. Dan kapan lagi kita bisa menyaksikan suguhan klenik indra keenam dibungkus oleh rangkaian diplomasi, busuknya egoisme politik, serta perhitungan ilmiah yang seapik ini.

Arrival memperoleh 9.2 dari 10 bintang.

Film Arrival telah ditonton pada 10 Desember 2016, review resmi ditulis pada 27 Desember 2016.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading