Me and Earl and the Dying Girl // 2015 // Sutradara : Alfonso Gomez-Rejon (Amerika) // Pemain : Thomas Mann, Olivia Cooke, RJ Cyler, Katherine Hughes, Connie Britton
Menonton Me and Earl and The Dying Girl sama seperti kutipan yang muncul di awal ceritanya: it was the best of times; it was the worst of times. Berulang kali kita dibuat sedih dan tertawa olehnya. Dan yang terbaik adalah kita sudah melewatinya hingga akhir.
Sulit untuk melabeli film ini ke dalam satu genre.
Apakah ini film komedi romantis? Mungkin tidak, mungkin juga iya. Film ini tidak menyuratkan kisah-kasih, melainkan dua muda-mudi yang berteman dan saling terhubung satu sama lain. Namun, pertemanan mereka sangat manis sampai-sampai membuatmu berasa seperti melihat orang yang sedang pacaran. Ini laiknya visualisasi akurat mengenai jenis hubungan alternatif yang tengah populer akhir-akhir ini: jalanin dulu aja.
Dua muda-mudi yang kita bicarakan adalah Greg dan Rachel. Pertemanan mereka dimulai ketika Greg dipaksa orangtuanya untuk rutin menemani Rachel yang baru saja didiagnosis terserang penyakit leukimia. Kondisi ini jelas membuat Greg tidak senang di awal. Bagaimana bisa Greg bersosialisasi intens dengan gadis yang tengah sekarat padahal seumur hidupnya dia hanya bisa berhubungan baik dengan satu orang: Earl, “rekan kerja”-nya? Namun, lambat laun pertemanan mulai terjalin di antara mereka berdua.
Me and Earl and The Dying Girl adalah cerita tentang Greg.
Kita bersimpati terhadap dirinya yang tanpa teman tetapi tidak menganggapnya sebagai sebuah masalah besar. Sampai akhir, Rachel adalah satu-satunya orang yang ia anggap teman jika Earl tetap dihitung sebagai “rekan kerja”. Kita bersedih dengan pribadinya yang kerap memandang segalanya dari sisi buruk–bahkan dirinya sendiri.
Karakter perfeksionis yang tumbuh membuatnya mudah kesal. Ini bisa dilihat dari bagaimana Greg menyesali dirinya yang belum pernah berhasil membuat sesuatu dengan baik. Kita–bahkan–memperhatikan cara Greg keluar dari zona nyamannya. Ia berkembang dari karakter pemuda yang sepanjang waktu berada di kamar dan menyendiri hingga menjadi pemuda yang sepanjang waktu berada di kamar teman perempuannya. Kasus Rachel membuatnya menjadi tanggap simpati terhadap orang lain dan mulai bersosialisasi dengan orang lain.
Hal yang agak aneh dari film ini adalah bagaimana kita dibuat (agak) jatuh cinta terhadap kematian.
Ini adalah kisah yang mencuri hati kita bukan karena kesedihan yang manipulatif tetapi segala sesuatu terasa akrab dan menyenangkan. Kita akrab dengan ketidakrelaan Greg menyaksikan Rachel yang kondisinya semakin buruk setiap harinya. Namun, kondisi “hampir mati” tidak disertakan untuk ditangisi, melainkan ditertawakan.
Sedari awal, Greg memang sudah berniat untuk membuat suasana ini tidak nampak canggung dengan cara membuat lelucon-lelucon tentang penyakit Rachel (meskipun tetap ada rasa bersalah dari dalam dirinya). Namun, siapa sangka bahwa niatan Greg berhasil? Ketakutan akan kematian tidak menghalangi pertemanan mereka, bahkan sampai akhir.
Dan yang paling mencuri hati tetaplah pesona Rachel, yang diperankan dengan sangat manis oleh Olivia Cooke.
Kita seperti diingatkan kembali pada pertemuan pertama dengan Jenny Mellor (Carey Mulligan) di film An Education atau Chloe Grace Moretz dalam film apa pun: gadis sederhana yang lugu dan memiliki senyum lembut. Dia tidak tampil sebagai gadis sekarat yang menyedihkan, malah menyenangkan. Bahkan, ketika berada di adegan-adegannya yang tanpa rambut, kita tetap menemukan dirinya menawan.
Me and Earl and The Dying Girl adalah tontonan yang ringan dan matang.
Tema yang biasa mampu diolah dengan cerdas sehingga cerita tetap terasa segar. Jika belum cukup, film ini juga menawarkan pengalaman sinematografi yang mampu membuat anda terheran-heran. Kombinasi keduanya ibarat menyantap gulai ikan. Bahkan, ketika sudah selesai pun kita masih mau mengecap sisa bumbu di tangan dan belum bisa beralih darinya.
Saya memberikan 8 dari 10 bintang.
Me and Earl and the Dying Girl ditonton pada 10 Oktober 2016, review ditulis pada 12 Oktober 2016.