Thursday, July 25

Review Film Indonesia | “Wonderful Life (2016)” Personal

Penonton Indonesia kembali disadarkan tentang banyaknya “pahlawan” yang sesungguhnya tersebar di sekitar melalui medium Wonderful Life. Nyawa film ini sangatlah personal. Mengangkat disleksia sebagai premis, rasanya Agus Makkie adalah satu dari sedikit pencerita level layar lebar yang berhasil berbicara cukup komprehensif tentang kondisi ini.

Wonderful Life adalah adaptasi dari buku berjudul sama hasil tulisan Amalia Prabowo. Kisahnya berpusat pada dua tokoh utama: Amalia—sang ibu—dan Aqil—anaknya. Di pengelihatan orang awam, mungkin kondisi mereka berdua sudah nampak berkecukupan—orang tua Lia yang berada dan pekerjaan Lia sebagai CEO di agensi iklan multi-nasional.

Namun, berkecukupan secara finansial saja tidak cukup, nyatanya ada cukup banyak konflik emosional yang mesti ditanggung oleh keduanya. Pemicu utamanya adalah vonis disleksia terhadap Aqil dan realitas yang tidak segera disadari oleh lingkungan terdekat. Dampaknya? Penyangkalan berusaha terus ditegakkan hingga suatu ketika menemui titik balik.

Tahun ini menjadi salah satu tahun paling membahagiakan bagi industri perfilman di Indonesia.

Dari aspek industri, 2016 memberikan pasokan balik modal yang berlipat-lipat dibandingkan periode sebelumnya. Terbukti dengan meningkat tajamnya jumlah penonton film produksi Indonesia.

Dari aspek pekerja kreatif, ini adalah momentum langka di mana–akhirnya–orang-orang di balik layar sadar dan mulai berani memberikan gagasan termulianya untuk diterjemahkan ke layar lebar. Dari aspek penonton, ini merupakan periode yang menyenangkan sebab kita akhirnya disuguhi tayangan dengan tingkat diversitas cukup tinggi–apalagi kalau dikomparasikan dengan sebelum-sebelumnya–dan kualitas yang semakin mumpuni.

 

Wonderful Life menggugat tentang tatanan prasangka yang selama ini selalu menghantui masyarakat kita.

Lia tahu betul bagaimana kondisi sosial memaksanya untuk berlaku ganda di berbagai kondisi. Tekanan di rumah masih harus ditimpa dengan tekanan di kantor dan ditambah tekanan di lingkungan perkembangan diri Aqil, si buah hati.

Sementara itu, naskah Wonderful Life tidak mau begitu saja lepas tangan, untuk mengukuhkan bahwa film ini adalah perjalanan personal yang relatable, sosok Aqil dimunculkan dengan penokohan yang bisa dibilang merupakan anti-tesis Lia. Aqil yang merasa dirinya baik-baik saja, Aqil yang selalu berusaha mendapatkan atensi ibunya.

Apa hasilnya? Suguhan yang memiliki atmosfer heartwarming dengan kemasan penerimaan.

Meminjam kalimat pembuka di film ini “semua anak terlahir sempurna”, sayangnya di periode awal, “sempurna” memang nampak sangat kabur pun berjarak. Hingga rasanya susah untuk dipahami. Lia semacam buta kompas ketika menginjak ke kehidupan Aqil. Dia memahami bahwa dunia yang sebenarnya adalah yang penuh dengan perkara normal: memiliki kemampuan akademis mumpuni dan terukur.

Saya menyukai pengangkatan gagasan umum ini, sebab dalam pemahaman yang lebih luas, penilaian itu relatif. Mirisnya, masih banyak kalangan yang menganggap bahwa diagnosis sosialnya adalah yang paling benar. Mereka melabeli orang per-orang dengan sebutan bodoh, tidak berbakat, individualis, dan semacamnya tanpa mau sedikit saja berusaha menilik konteks pelakunya. Wonderful Life terang-terangan menyentil hal ini dengan menunjukkan beberapa momen ketika Lia meragu pada Aqil tetapi ternyata orang-orang baru yang mereka temui di perjalanan justru memberikan apresiasi tinggi atas bakat lain yang menjadi substitusi kegagalan akademis Aqil.

Wonderful Life adalah salah satu fragmen dari kehidupan itu sendiri.

Kita akan dengan mudah menemukan berbagai sisi menarik kehidupan di setiap persimpangan plotnya. Layaknya kehidupan, film ini memang tidak berjalan mulus begitu saja. Saya mendapati adanya usaha pengisahan paralel di jalur seri—tentang hubungan kerja Lia dan agensinya—implikasinya terjadi “delay pengisahan” yang cukup mengganggu; pun tentang posisi orangtua Lia yang kurang kuat di awal mula; serta tentu saja kurang leburnya Aqil di beberapa bagian.

Untuk poin terakhir sebenarnya bersifat minor. Saya paham betul bahwa pemain anak adalah tantangan tersendiri—dan mayoritas berhasil dilibas di film ini—apalagi kalau mengingat ke belakang, sangat sedikit film yang sukses menyentralkan tokoh anak-anak. Dan perlu dicatat, ciri tiap anak di tiap kultur itu khas. Film ini berhasil menghidupkan karakter bocah yang khas Indonesia—dengan berbagai polah impulsif juga janggalnya.

Melalui pendekatan naskah sehumanis ini, cast mumpuni—terutama Atiqah Hasiholan—dibalut visual—termasuk vfx—serta musik pengiring yang uplifting, rasanya susah menolak kesederhanaan yang melegakan dari Wonderful Life.

Wonderful Life layak diberi 8.5 dari 10 bintang.

Film Wonderful Life (2016) telah ditonton pada 13 Oktober 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.


Review ini sebelumnya tayang di laman tersapacom sebelum akhirnya merger ke ngepopcom dan telah dibaca lebih dari 1100 visitor.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading