Wednesday, July 24

Review Film | “The Accountant (2016)” Tinjau Ulang Autis

Mari jujur-jujuran di sini: The Accountant tidak akan memuaskanmu kalau yang dicari adalah kehidupan komprehensif tentang sosok akuntan yang membosankan itu. Namun, supaya tidak mengkhianati bawaannya—membosankan—film ini menyubtitusi dengan tetap berjalan pelan-pelan dan cenderung lambat. Perjalanan yang bisa berujung pada bongkar muat dilema: terkantuk-kantuk atau terkagum-kagum.

Untungnya The Accountant menyusun fondasinya dengan sudut pandang menarik: tinjau ulang autis.

Kita akan mengikuti perjalanan seorang Chris Wolff. Dia adalah sosok yang didiagnosis mengidap autisme sejak kecil, kehidupan masa kecilnya penuh masalah. Kedua orangtuanya berbeda pandangan tentang perlakuan yang mesti diberikan. Sang ayah percaya bahwa autis bukanlah suatu hal yang buruk, hanya saja masyarakat kita tidak tahu bagaimana harus mengapresiasi cara pikir mereka—pengidap. Anggapan itu dibenarkan oleh seorang pria yang membuat semacam panti khusus autis karena putrinya turut mengidap. Yang terjadi setelahnya sungguh di luar dugaan orang kebanyakan.


Intermezzo

Meskipun film ini utamanya berfokus pada aksi dan drama, ada beberapa aspek akuntansi yang dihadirkan.

Dilihat dari sisi akuntansi:

  1. Detail dan Analisis: Film ini menampilkan bagaimana seorang akuntan dapat menggali detail transaksi keuangan untuk menemukan ketidaksesuaian atau penipuan. Keterampilan Christian dalam menganalisis buku besar dan laporan keuangan menunjukkan pentingnya perhatian terhadap detail dalam profesi ini.
  2. Forensik Akuntansi: Christian Wolff bukan hanya akuntan biasa; dia adalah seorang ahli forensik akuntansi. Ini adalah cabang khusus dari akuntansi yang berfokus pada investigasi keuangan untuk menemukan penipuan atau ketidaksesuaian. Film ini memberikan sorotan tentang bagaimana forensik akuntansi dapat digunakan dalam investigasi kejahatan keuangan.
  3. Etika dan Integritas: Meskipun Christian bekerja untuk beberapa klien yang meragukan, film ini mengangkat isu etika dalam profesi akuntansi. Sebagai akuntan, ada tanggung jawab untuk memastikan integritas informasi keuangan dan melaporkan setiap ketidaksesuaian.
  4. Perlindungan Data: Christian memiliki kebiasaan untuk menghancurkan catatan setelah menyelesaikan pekerjaannya, menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan informasi klien.

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun film ini menampilkan aspek-aspek akuntansi, fokus utamanya tetap pada aksi dan drama. Beberapa representasi profesi mungkin dibesar-besarkan untuk tujuan dramatisasi. Dalam kenyataannya, pekerjaan sehari-hari seorang akuntan mungkin tidak seseru atau berbahaya seperti yang digambarkan dalam film.


The Accountant adalah film yang tenang dan sederhana—saking tenangnya, banyak sekali momen hening bahkan tanpa scorring di antara rangkaian kejadian aksi, meski begitu sound-mixing-nya juara.

Yang membuatnya nampak rumit karena film ini berjalan dengan gambaran jalan logika Wolff si autis. Berkat perlakuan terhadap pengidap autis yang sangat layak di sini, orang yang berjuluk “normal” jadi sangat inferior. Perumpamaannya, pengidap autis bagaikan para mutan di X-Men.

Bayangkan kalau saja penduduk dunia memiliki pemahaman sebaik di film ini: pengidap autis nyatanya memiliki kemampuan otak yang luar biasa. Saking luar biasanya, penghakiman level standar dari “orang normal” bisa disebut sebagai bentuk pelecehan. Dengan titik tolak ini pula, selayaknya kata autis tidak perlu menjadi bahan olok-olok bahkan tabu—seperti fenomena saat ini.

Autis, normal, jenius, dan semacamnya berada di level yang sama.

1000px-the-accountant-banner-2016-ngepopcom

Alih-alih menerjemahkan bebas film ini sesuai judul, saya lebih senang mencari padanan yang lain untuk saripatinya. Wolff memiliki kemampuan matematika jauh di atas rata-rata. Hal ini kemudian dimanifestasikan ke berbagai bentuk tindakannya di kehidupan nyata. Segalanya selalu berasal dari hitung-hitungan matematis. Istilahnya, variabel lain yang kalau di kehidupan manusia biasa bisa singgah dan pergi secara tiba-tiba pun semaunya, di kehidupan Wolff variabel pengacau itu langsung dieliminasi.

Dampaknya? Di atas kertas karakter Wolff ini menjadi sangat menarik. Dia adalah tokoh yang taktis sekaligus tak acuh terhadap kehidupan sosialnya.

Yang menjadi prioritas adalah perhitungan rasional yang ada di kepala Wolff. Mungkin kalau dilihat dari aspek normatif tindakannya nampak sangat buruk, tetapi memang perhitungan di kepalanya seringkali berakhir di perkara untung rugi. Wolff menggunakan formula kepercayaan logis terhadap kliennya, semisal si klien berbohong atau berkhianat—yang ke banyakan adalah kelas kakap—dia tidak tanggung-tanggung untuk melakukan eksekusi.

Sebagai sebuah pertunjukan layar lebar, proyeksi Wolff yang dingin ini justru sering berhasil sentimental.

Apalagi ketika Wolff dipertemukan dengan Dana (Anna Kendrick). Menyenangkan melihat hubungan mereka berdua yang layaknya tetesan air yang terus-menerus menabrak tembok—meski bukan perkara instan, tetapi potensi rembesan itu masih terbuka. Oh, dan juga hubungan di keluarga–ayah serta saudara Wolff–yang luar biasa ikatannya.

Terlepas dari gagasannya yang sangat saya apresiasi, frankly The Accountant bukanlah favorit saya.

Porsi pengisahan dari tiap periode mengalami ketimpangan—di bagian pasca pertengahan jatahnya terlalu berlebihan sampai bikin saya lepas fokus, untung rangkaian penutupnya cukup baik. Belum lagi tentang struktur naskahnya yang malah terkesan cabut pasang karena kegamangan dalam peletakan hint plot. Saya tidak menyalahkan usaha film ini untuk menjadi mind blown.

Menyaksikan Ben Affleck di sini serasa melihat Bruce Wayne si Batman yang sedang undercover, solid dan tenang. Personanya mirip banget. Sekuens aksi serta kerangka pemikiran keduanya sebelas duabelas. The Accountant adalah pembuka mata supaya publik mengamati sesuatu tidak hanya dari konsensus.

Saya sepakat dengan salah satu kalimat yang terlontar: sooner or later, the different scares people.

The Accountant memperoleh 7.5 dari 10 bintang.

Film The Accountant (2016) telah ditonton pada 14 Oktober 2016, review resmi ditulis pada 15 Oktober 2016.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading