Saturday, April 27

Review Film | “Logan (2017)” Tribute dan Prolog Regenerasi

Sebuah pemuncak fase dari franchise epos yang baik adalah yang mampu memberikan ruang memadai untuk jatah tribute sekaligus potensi regenerasi.

Logan memenuhi syarat itu. Film ini pun berhasil mendobrak stigma “polosan” yang selama ini lekat diasosiasikan ke judul-judul layar lebar Marvel.

Film ini bercerita tentang babak terakhir yang mesti dilalui oleh Logan atau yang selama ini kita kenal dengan sebutan Wolverine. Berseting di 2029, dengan alternate universe, roda kehidupan dunia ternyata tidak semuluk-muluk bayangan di masa lalu. Para mutan kembali diburu justru untuk menciptakan friksi-friksi baru yang lebih mengerikan. Melihat kondisi ini, Logan memilih undur diri dari perjuangan X-Men dan beralih profesi menjadi pengemudi limo untuk memenuhi kebutuhan hidup. Logan tidak sendirian, dia tinggal bersama seorang albino yang masuk golongan mutan pelacak, Caliban, serta mesti merawat Charles si Professor X yang kondisinya semakin tidak stabil. Sikapnya yang sudah menjadi sangat tidak peduli terhadap “harapan baru para mutan” justru harus terganjal dilema setelah dia bertemu seorang bocah perempuan, Laura, mutan X-23.

Logan berhasil menjadi anomali di antara film-film Marvel lainnya.

Saya kurang sepakat ketika tahun lalu Deadpool dipuji oleh banyak kalangan sebagai bentuk penyegaran lini perfilman komik Marvel (seperti yang sudah saya tulis di review Deadpool). Petualangan Wade Wilson tersebut kentara masih berada di jalur aman yang selama ini Marvel ambil (minim emosi lebih banyak taburan sketsa), strukturnya pun masih masuk kategori generik. Salah satu verdict krusial yang membuat Deadpool masih selamat adalah film itu mampu “melahirkan kembali” karakternya dengan citra baru nan ikonik bagi generasi sekarang. Sedangkan Logan mengambil jalan “comeback” yang kurang umum bagi Marvel (Fox, lebih-lebih Disney), tapi masih cukup populer.

Kembalinya si Wolverine inilah yang justru patut disepakati sebagai penyegaran bagi Marvel.

Alih-alih berusaha menampilkan karakter berformula sederhana, single/dual layer, Logan merangsek masuk ke eksplorasi sisi emosional karakter yang dalam, multilayer. Bahkan, film ini berani untuk menjadi tega. Masa pensiun seorang pahlawan tidak pernah kelihatan sederhana.

Ini mengingatkan saya pada dua film DC Comics: Watchmen dan Batman v Superman: Dawn of Justice (sayangnya dua film ini mengambil jalan yang cukup jauh dari terma populer bagi pasar kala itu, relevansinya baru disadari oleh orang-orang setelah sekian waktu berlalu). Bedanya, dengan jalinan pengisahan yang cenderung masih lebih ramah dengan selera penonton saat ini (meskipun tergolong kelam), Logan bisa lebih cepat dan mudah disukai–penonton tidak harus bersusah-payah melakukan internalisasi. Setidaknya, hal ini memberi harapan pada kita bahwa beberapa tahun ke depan, kedalaman untuk film superhero bukan lagi momok yang layak dihindari.

Logan juga menandai perpisahan kita (setidaknya sampai kabar terakhir yang muncul ketika review ini ditulis) dengan Hugh Jackman dan Patrick Stewart.

Hugh telah menghidupkan karakter Wolverine dari yang awalnya sangat difavoritkan, kemudian sempat membuat jengkel karena saking banyaknya porsi yang diberikan padanya, hingga akhirnya sekarang di Logan menjelma menjadi sosok yang nantinya akan sangat dirindukan. Hugh di sini sukses menampakkan masa tua Logan yang berada di pengasingan. Meski dia masih tinggal dengan beberapa teman mutannya, raut muka refleksi kesendiriannya tidak bisa ditutup-tutupi. Dia yang nampak rapuh karena lebih memilih untuk menanggung segala masalahnya sendirian–keputusan yang semakin memperburuk kesehatannya, apalagi pasca internal tubuhnya dilemahkan dan digerogoti oleh efek samping “serum racun”.

Namun, jangan salah, meskipun kondisinya sudah tidak seprima dulu, Logan malah menawarkan dosis adrenalin yang lebih tinggi dibandingkan film-film sebelumnya (X-Men maupun Wolverine). Sedangkan performa total dari Patrick sebagai Charles yang kini sudah tidak sekuat dulu benar-benar menguarkan perasaan heartbreaking.

Dua bintang besar ini adalah nyawa dua per tiga film Logan, sepertiganya digenggam oleh Dafne Keen sebagai Laura.

Sosok gadis cilik yang memiliki kemampuan serupa Logan ini bisa tampil polos sekaligus sangat mengesankan. Kemampuannya dalam membantai pihak-pihak yang berusaha menangkapnya berhasil membuat setiap adegan aksi menjadi luar biasa hidup. Terlepas dari kebrutalannya (kemasan utuh film ini pun brutal, rating R), sosok Laura bermakna karena mampu meresonansi simpati penonton terhadapnya. Bahkan sejak awal mula kita dipertemukan dengannya, ketika dia belum melakukan apa-apa–setidaknya inilah yang saya rasakan.

Kudos untuk departemen sinematografi, scorring, film editing, sound editing dan mixing, visual effect, serta production design, yang sangat membantu dalam menciptakan atmosfer “menghantui” yang stabil.
Dan membahas X-Men tidak pernah bisa benar-benar lepas dari kritik sosial yang coba dilempar.

Kalau di film-film sebelumnya kita selalu dihadapkan pada upaya untuk menghargai mereka yang dianggap “berbeda” supaya diposisikan secara setara dengan manusia yang disebut sebagai “normal”, naskah Logan yang digarap oleh Scott Frank, James Mangold, dan Michael Green berfokus pada isu kemanusiaan (krisis kemanusiaan).

Secara blak-blakan bahkan film ini menggambarkan penolakan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa untuk menjadikan manusia sebagai senjata bagi manusia lain.

Para mutan cilik yang dikembangkan dengan metode rakayasa genetika justru membelot dan tidak sudi dijadikan senjata. Faktor utama yang menggagalkan upaya tindakan keji ini (menjadikan mereka sebagai senjata) adalah karena oleh para “ibu angkatnya”, mereka diperlakukan sebagai manusia yang punya rasa dan haus kepedulian serta kasih sayang dari orang lain.

Dibandingkan film-film Marvel selama ini yang cenderung menjauhkan diri dari intimasi keluarga, Logan berjalan sebaliknya.

Di sini akhirnya kita bisa menyaksikan film pahlawan super Marvel yang fondasinya terbangun berkat hangatnya jaring-jaring elemen ini. Itulah mengapa juga saya sempat menyinggung DC Comics di paragraf atas–sebab selama ini DC-lah yang lebih getol menjadikan “keluarga” sebagai sebuah pengikat batin yang kuat. Nyatanya terbukti, koneksi semacam ini (esensi keluarga) malah lebih berhasil dalam menaikkan tensi emosional yang disebar hingga akhir.

Pada akhirnya, yang terpenting dari Logan adalah bagaimana film ini mampu memberikan penghormatan paling layak bagi para karakter veterannya.

Dan seperti yang sudah disebut di awal review, dengan ini pula gerbang untuk hadirnya “kebaruan” dalam universe X-Men menjadi sangat terbuka lebar, salah satu langkah regenerasi kisah superhero paling mulus dan beradab yang pernah ada. Kudos untuk James Mangold, sutradara yang pengarahannya bisa efektif di sini. Dan Jangan lewatkan pula bagaimana film ini begitu fasih dalam merangkul histori komiknya secara layak–dengan memposisikan bahwa generasi baru mempercayainya sebagai “sumber keyakinan”.

Tanpa perlu diberi bumbu motif tindakan karakter yang ambisius (mungkin ada beberapa kalangan yang bakal melihat aspek ini sebagai kekurangan), Logan begitu lancar menjadi salah satu film superhero paling elegan.

Meski pada sepertiga bagian awal saya sempat merasakan ikatannya yang agak kendor, tapi pemilihan motif minimalis tersebut justru membuat film ini semakin fokus dan semakin matang di sisa durasinya. Sekuensnya yang jarang membiarkan penonton hidup tenang pun dibayar impas dengan sebuah gestur kecil di akhir yang membuat saya meledak-ledak–karena sudah sempat terlintas di benak saya sebelumnya.

Gestur yang mengembalikan franchise X-Men ini ke akarnya, yang merupakan wujud pemberontakannya pada dogma masyarakat. Yang semakin meneguhkan kenapa spirit itu layak disebut sebagai “keyakinan” bagi generasi mutan selanjutnya.

Logan layak diganjar 9,5 dari 10 bintang.

Film Logan (2017) telah ditonton pada 1 Maret 2017, review resmi ditulis pada 1 dan 2 Maret 2017.

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading