Live-action Disney tidak bisa dianggap cuma sebagai formalitas mengikuti trend, apalagi cuma disebut sebagai filler. Itu adalah penghinaan.
Karya teranyarnya, live-action Beauty and the Beast sangat menampakkan kesungguhan studio berlogo kastil ini untuk memboyong realitas magical ke dunia nyata. Disney mampu merebut hati saya dengan begitu fasih.
Film ini berkisah tentang seorang pangeran congkak yang dikutuk menjadi makhluk buruk rupa dan seorang gadis cantik (Belle) yang dianggap aneh di desanya karena terliterasi. Cerita berjalan progresif ketika ayah dari Belle terjebak hujan badai dan ada petir yang menumbangkan pohon besar sehingga menutupi rute pulang. Dia berinisiatif memasuki jalan baru yang terbuka–yang sebelumnya tertutupi pohon yang kemudian tumbang. Ternyata, dia justru menemui petaka setelah tiba di sebuah kastil megah nan kelabu. Singkatnya, kuda sang ayah yang pulang sendirian membuat Belle yakin ada hal yang tidak beres, dia mesti bertindak cepat.
Magical, magical, magical.
Terma ini yang terus-terusan bergema di benak saya pasca filmnya selesai. Ini adalah film yang membuat kita yakin bahwa sinema memang hal yang sangat ajaib. Medium yang mampu membuat kita ikut masuk ke dalam cerita, merasakan langsung atmosfernya. Beauty and the Beast bukan cuma film yang menjadikan penonton sebagai objek. Sebaliknya, sepanjang mengikuti perjalanan para karakternya, kita seperti menjadi salah satu entitas dari mereka.
Dengan pernyataan di atas, tentu saja salah satu faktor pendukung terbesarnya adalah: visual–visual effect serta production design.
Beauty and the Beast telah membuat mata termanjakan sejak awal. Bahkan ketika layar baru menampakkan sekuntum mawar yang di-zoom sehingga semakin kentara detailnya. Departemen visual effect merupakan salah satu juru kunci di sini. Sebab, film ini adalah juga tentang mempersonifikasikan benda-benda mati yang ada.
Katakanlah begini: mudah untuk sekadar mewujudkan efek visual yang wah–apalagi kalau budget filmnya besar–tetapi tidak semudah itu untuk membuat efek visual begitu “berbicara”. Ketika menyaksikan Beauty and the Beast, rasa kedekatan penonton dengan perabot yang “hidup” itu serta-merta muncul. Apalagi masih ditambah dengan perasaan patah hati kala menyaksikan keruntuhan satu per satu sudut bangunan kastil. Inilah yang saya sebut efek visualnya berbicara. Setiap detail yang ada serasa menjadi milik bersama yang ingin sama-sama dipertahankan.
Masih di aspek visual, jangan lupakan bagaimana departemen costume design serta make-up dan hairstyling menuntaskan kewajiban mereka. Sejak pembuka, ketika sang pangeran dicemongi dengan make-up menor warna-warni pun didandani dengan wig dan pakaian jadul, yang nampak bukan cuma sebuah tampilan janggal, tetapi tetap bisa terkesan artistik. Ini penting, apalagi untuk film bergenre dongeng semacam ini. Saya yang terkadang sulit mengapresiasi desain kostum abad pertengahan pun di sini bisa dengan mudah dibuat terkesan.
Apakah film ini hanya berhenti di aspek teknis? Tidak, sama sekali tidak. Elemen terajaib terletak pada penyampaian substansinya.
Perlu diingat, versi animasi film ini yang dirilis pada 1991 adalah film animasi pertama yang berhasil masuk ke daftar nominasi Best Picture di Oscars. Apa istimewanya? Toh, film animasi yang masuk nominasi Best Picture sampai hari ini sudah ada beberapa. Sangat istimewa! Ingat, kala itu jumlah nomine Best Picture masih lima, belum 10 (maksimal). Terbayang betapa solid-nya kolaborasi naskah dan teknis dari film yang mampu merangsek ke dalam lima besar terbaik dalam kurun rilisan setahun.
Karena film ini memiliki bekal sumber naskah yang sudah kuat, tidak heran kalau kemudian storyline-nya begitu rapi dan tuntas.
Improvisasi naskah yang dilakukan pun justru membuat “warnanya” lebih relevan dengan kondisi saat ini, bukan malah merusaknya. Selesai menonton saya mencoba berumpama bagaimana seandainya live-action ini adalah kali pertama saya menyaksikan kisah Beauty and the Beast. Saya yakin perasaan terpesona itu layaknya mengalami cinta pada pandangan pertama–dan saya iri dengan mereka yang masih “perawan” ini.
Tagline “be our guest” yang menjadi materi promo utamanya benar-benar berada di jalur yang lurus. Tidak bohong.
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, kita sungguhan merasakan atmosfer menjadi “tamu”, yang serasa ikut “masuk”. Dan posisi sebagai tamu ini memungkinkan kita untuk melakukan observasi secara utuh.
Penonton yang awas bisa menyadari bahwa film ini tidak tertrivialisasi ke perkara cinta-cintaan pangeran dan puteri.
Lebih jauh, film ini mengeksplor berbagai interaksi yang ada di tengah masyarakat yang sangat heterogen–layaknya sekarang. Ini adalah film yang menunjukkan bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Setiap orang memiliki sisi minor yang membuatnya beragam. Sebut saja: Belle, dia memang cantik, baik, dan rajin baca, tetapi dia dianggap oleh warga desa sebagai orang yang aneh dan patut dijauhi; pangeran, dia sebenarnya baik hatinya, tetapi kutukan membuatnya ditakuti, dia pun menjadi congkak karena pengaruh didikan orang tua; Gaston, nampak maskulin, banyak disukai orang-orang karena pesonanya, sangat gigih, tetapi dia tega menghalalkan segala cara, belum lagi sosoknya yang sebenarnya berotak kosong; LeFou (karakter Gay yang banyak diperdebatkan menjelang rilisnya film ini), si pandamping Gaston ini sangat loyal, tetapi dia tidak punya keberanian, bahkan untuk sekadar coming out ketika bersama dengan Gaston, dia cuma berani bermain gestur; dan seluruh karakter lain. Setiap entitas digambarkan punya sisi gelapnya.
Masih berbicara tentang karakter, di sini kita bisa menemukan hasil casting yang apik.
Emma Watson sebagai Belle adalah sosok “puteri” yang tidak ngoyo–not trying too hard. Dia tampil apa adanya, tidak terburu-buru, pun tidak nampak memaksakan. Personanya inilah yang membuat karakter Belle langsung bisa merebut hati penonton.
Sedangkan Dan Stevens sebagai pangeran aka beast sanggup menampilkan sisi rapuh sekaligus komikal secara subtil. Agaknya saya salah langkah karena sebelum menyaksikan Beauty and the Beast saya rutin mengikuti serial Legion di mana Dan menjadi pemeran utama pula. Di Legion dia tampil tengil dan apa adanya, dan ekspresinya mirip dengan di film Beauty and the Beast. Dampaknya, bahkan tanpa dia melakukan apa pun, setiap kemunculan Dan selalu mengundang tawa saya–karena langsung teringat kelakuannya di Legion.
Pun jangan lupakan Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), keduanya mencuri perhatian karena berhasil menaikkan mood. Penampilan keduanya yang komikal dan energik adalah nilai tambah yang berharga. Tidak luput juga sosok-sosok lain, seperti ayah Belle (yang agak sedikit kurang emosional), penduduk desa, serta tentu saja para pengisi suara perabotan hidup yang ada di dalam kastil.
Setiap bagian dari departemen pemeranan pun saya kira harus berterima kasih kepada departemen suara (serta koreografi), karena kehadiran scoring dan lagu-lagu soundtrack-nya sukses menghidupkan setiap adegan (umum maupun krusial).
Beauty and the Beast tidak jatuh klise.
Meski formula cerita dongeng macam ini mungkin sudah sangat lekat di alam bawah sadar kita, tetapi film ini mengakalinya dengan melakukan penyampaian kisah yang lebih realistis. Melalui langkah itulah hadir pembangunan plot yang baik, logis, nan tuntas, bahkan perlakuan terhadap bridging-nya mampu mengikuti tempo penceritaan yang terus naik. Film garapan Bill Condon ini tidak mendikte secara vulgar bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah. Dia berada di level “menunjukkan”, termasuk untuk momen-momen aktualisasi diri bagi para karakter yang mengalami “krisis” maupun untuk mencapai titik “meruntuhkan” kutukan.
Magical sekaligus dewasa.
Beauty and the Beast layak diberi 9 dari 10 bintang
Film Beauty and the Beast (2017) telah ditonton pada 17 Maret 2017, review resmi ditulis pada 20 Maret 2017.