A Monster Calls adalah film tentang kontemplasi diri.
Film ini menunjukkan bagaimana rapuhnya manusia ketika harus berhadapan dengan diri sendiri. Tentang menyiksanya proses jujur-jujuran pada ketakutan yang selama ini membelenggu sehingga nantinya tidak harus direpotkan oleh tutupan topeng pura-pura lagi.
Film ini adalah milik Conor O’Malley. Seorang bocah yang beranjak dewasa yang hidup bersama sang ibu yang sakit-sakitan. Adegan pembukanya bahkan sudah memberikan gambaran jelas pada penonton tentang sisa durasinya, yaitu: visual mimpi buruk yang menghantui Conor. Selain itu, dia pun harus melewati hari-hari sulit ketika berada di sekolah. Hingga suatu waktu, hadir sesosok monster pohon raksasa yang mengubah perspektifnya terhadap kehidupan secara perlahan.
Manyaksikan A Monster Calls sebenarnya juga melemparkan pertanyaan besar pada diri sendiri, apakah kita juga sudah bisa menerima konsekuensi hidup?
Dan film ini pun menyadarkan kita bahwa beragam konsekuensi itu sama besarnya, tidak ada yang lebih besar maupun lebih kecil.
J A Bayona sebagai sutradara di sini memperlihatkan bahwa perjalanan menerima konsekuensi ini tidaklah singkat.
Tidaklah singkat bukan berarti rumit. Faktanya justru hal ini sangatlah sederhana, saking sederhananya, kebanyakan orang malah tidak awas dan akhirnya menganggapnya kompleks.
Tuntutan buat Conor di sini lebih berat dari mayoritas remaja seusianya. Beban hidup yang selanjutnya membuat tindakan-tindakan yang dilakukan Conor beberapa kali nampak sangat dewasa. Terutama ketika dia mesti berinteraksi langsung dengan ibunya yang sakit-sakitan. Namun, uniknya di interaksi ini pula, Conor menunjukkan paradoks, dia secara tidak sadar menunjukkan bahwa dia juga masih seorang bocah. Adegan ketakutan di tengah malam yang kemudian membuatnya lari ke kamar ibunya, misal.
Paradoks kembali hadir di dua momen kunci: kehadiran neneknya dan bully di sekolah yang dialaminya. Di bagian nenek, kita melihat dengan sangat jelas betapa Conor ingin membuat jarak sejelas mungkin. Dia tidak tahan dengan berbagai larangan yang ada. “Jarak” inilah yang kemudian justru menjadi bumerang, sebab kemarahannya menjadi meluap-luap tak terkendali–akumulasi. Sedangkan di sekolah, Conor sebenarnya menginginkan tidak ada batasan, dapat rekognisi dari teman sebaya, meskipun yang terjadi justru sebaliknya. Dia memperoleh perlakuan yang tidak sejalan dengan harapan pikir, justru orang-orang di sekolahlah yang seolah membuat garis batas dengannya.
Dengan kemunculan si monster pohon raksasa, kita diperlihatkan bahwa film ini punya tiga pilar utama yang masing-masing mewakili fase pemaknaan hidup tiap-tiap manusia di dunia.
Tiga hal itu adalah: kebingungan, kepercayaan, dan kemarahan.
Tiga hal yang akan terus mengusik benak manusia yang beranjak dewasa kalau tidak kunjung diperoleh jawabannya.
Di awal, kebingungan tentang banyak hal memegang aspek penting. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan mengapa ini, mengapa itu, secara simultan tak berkesudahan. Namun, pada akhirnya ketika kita sudah sadar, seringkali kita harus menerima bahwa ada banyak hal yang memang berjalan seperti itu, seperti ini, malah kadang dibolak-balik, tanpa perlu bersusah-payah dimasukkan ke dalam pola logika berpikir. Kalau dengan bahasa yang lebih kontemporer, dunia ini memang dipenuhi oleh ambiguitas moral.
Setelah melewati fase kebingungan, lewat sosok Conor kita didorong untuk memegang teguh keyakinan yang kita genggam. Keyakinan ini tidak semata-mata perkara agama, tetapi juga tentang kepercayaan pada diri sendiri dan sugesti yang ada. Karena percaya atau tidak, banyak kejatuhan yang tercatat dalam sejarah terjadi karena goyahnya “kepercayaan” ini.
Baru kemudian, kita akan berhadapan dengan kemarahan-kemarahan ketika mesti berhadapan dengan usaha pengakuan eksistensi diri. Conor mengalami fase ketiga ini dengan tidak baik-baik saja. Dia menimbun terlalu banyak kekecewaan yang akhirnya melahirkan kemarahan–dan diluapkan secara sporadis.
Berbekal tiga formula tersebut, A Monster Calls lalu merujuk pada satu kata: akhir.
Sebuah jawaban yang secara dangkal nampak seperti keputus-asaan tapi sebetulnya ini adalah wujud kontemplasi tertinggi. Yaitu menerima supaya segala hal “diizinkan” untuk berakhir karena memang mesti berakhir, bukan ditahan-tahan oleh ego kerena masih merasa tidak rela.
Menyaksikan film ini pun membuat saya harus mencoba sebisa mungkin menyingkirkan ego pikiran.
Secara kemasan utuh, A Monster Calls tetap berhasil tampil apa adanya dan charming. Meskipun ketika mau ditilik lebih detail, sebagai sebuah film, sebenarnya film ini menyisakan terlalu banyak detail yang hilang. Termasuk dengan kehadiran-kehadiran para elemen pendukungnya yang terasa seperti datang tapi lupa pamit pulang. Dan yang paling utama, pengisahannya memberi penonton alasan kuat untuk terus menebak-nebak relasi dunia keseharian Conor dengan realitas alternatifnya–di mana si monster hadir. Mungkin saya salah, tapi saya selalu melihat Conor sebagai sosok bipolar, sama seperti ketika saya melihat Norman di Bates Motel.
Departemen visual dan menjadi primadona di sini.
Saya sukses dibuat terpesona oleh sinematografi teduh dan visual efeknya, lebih-lebih bagian dongeng yang memainkan lukisan cat air. Pun production design dan scoring turut tampil prima. Untuk departemen pemeranan, jelas yang paling menonjol adalah Lewis MacDougall sebagai Conor, spektakuler! Berikutnya disusul oleh sumbangan suara Liam Neeson sebagai si monster, Sigourney Weaver (Nenek), dan Felicity Jones (Ibu)–meskipun posisi Felicity di sini sebenarnya nampak tidak terlalu lebur.
A Monster Calls adalah tentang kumpulan entitas yang tidak selalu “natural fit” di lingkungan sosial.
Film ini menjadi semacam pembelaan dan wahana bagi orang-orang tersebut untuk mengekspresikan diri sejurus dengan komunikasi intrapersonalnya. Dan karena aspek internal inilah, maka semakin wajar ketika pencarian “penerimaan” menjadi perjalanan spiritual tersendiri.
A Monster Calls memperoleh 8.5 dari 10 bintang.
Film A Monster Calls (2016) telah ditonton pada 3 Februari 2017, review resmi ditulis pada 4 dan 5 Februari 2017.