Thursday, July 25

Review Film | “Allied (2016)” Penerimaan Intrik

Duet performa maut terjadi di Allied. Brad Pitt dan Marion Cotillard tidak membutuhkan karakter yang utuh untuk menyajikan chemistry seintim mungkin.

Penonton semacam sudah didesain supaya hanya tahu penokohan tokoh secara sepotong-sepotong dan terbiasa dengan intrik pengkhianatan, sialnya hal ini sudah cukup efektif buat mencabik-cabik perasaan.

Allied berseting perang dunia kedua, Max ditugaskan untuk menyamar dan menjadi mata-mata di wilayah French Morocco. Di sana dia tahu bahwa sudah ada seorang perempuan dari aliansi pemberontak yang bakal membantunya menyelesaikan tugas. Keduanya bermain peran dengan sangat baik. Namun, namanya juga sejak awal sudah penuh rekayasa, ada hal genting yang justru luput dari pembacaan.

1000px-allied-2016-ngepopcom

Satu kata yang sangat tepat mendefinisikan Allied adalah hening.

Tidak ada terma lain yang lebih cocok. Sejak awal hingga akhir, keheninganlah yang menyergap momen-momen vital. Dan keheningan ini pulalah yang menjadi benang merahnya: kita ikut kesulitan memilih respon ketika harus berada di posisi utama, akibatnya mulut memang diam tetapi otak dan perasaan bergejolak.

Gara-gara keheningan pula, cerita yang sudah berfase lambat semakin menguarkan aroma dramatis. Jantung saya sampai dibuat berdegup kencang ketika salah satu scene yang menunjukkan perputaran mesin jam disajikan secara dilematis. Hanya ada seruan dalam otak, Ayolah, cepat berdering biar rasa tidak enak ini segera terangkat

Memang di beberapa momen kegamangan itu berhasil terurai. Namun kemudian kembali dibetot pada rangkaian selanjutnya.

Secara gagasan, sejalan dengan paragraf pembuka, Allied tidak mencoba untuk tampil utuh. Tidak utuh disini bisa diartikan tidak selalu harus mengikuti pakem kondisi sosial yang sudah ada, enggan ideal.
Ini adalah film yang dipenuhi oleh kerisauan dan penyangkalan.

Sebagai contoh, salah satu usaha yang dilakukan untuk membuat Allied nampak ideal adalah tindak-tanduk Max dan Marianne di rumah singgahnya di French Morocco. Max menuruti adat dengan tidur di atas atap sementara Marianne mengunjunginya sejenak secara rutin supaya mereka bisa nampak bersenda gurau pun seolah-olah mesra–karena tetangga setempat semacam mengawasi.

Dari jarak jauh, tindakan yang mereka tampilkan cukup meyakinkan dan wajar. Namun sekali lagi, yang tahu persis tentang apa yang sebenarnya terjadi hanyalah mereka berdua–itu pun keduanya tidak bisa sama-sama yakin, hanya ada proyeksi probabilitas di masing-masing pihak. Di bagian ini penonton memang sudah awas dan melihat bahwa pergumulan mereka sekadar pura-pura.

Sedangkan di bagian lain, Allied lebih berani melangkah. Kali ini bukan hanya orang-orang dalam layar yang kena muslihat mereka, tetapi penonton juga. Film ini menampilkan sebuah scene fenomenal yaitu saat terjadinya badai pasir di gurun sementara Max dan Marianne kontras bercinta di dalam mobil. Seolah tidak terjadi apa-apa, seolah peran ganda manipulatif yang terus membebani salah satu dari mereka tidaklah menyulitkan. Sampai di titik ini penonton pun masih mencoba menyusun petunjuk yang berserakan, jadi sulit menaruh curiga. Apakah betul keduanya baik-baik saja?

Dibandingkan The Walk yang dirilis tahun lalu, pun garapan Robert Zemeckis, secara kualitas paket lengkap Allied berada sedikit di bawahnya.

Film ini memilih berjalan progresif tetapi dihantui teknik pemangkasan periode waktu–ini jugalah yang semakin mendukung bahwa ketidakutuhan adalah idolanya. Dalam beberapa kasus, penonton tidak diberikan kesempatan lebih untuk mengeksplor situasi sekeliling.

Padahal, dalam salah satu poin verdict yang saya catat, Allied memiliki kerumunan latar yang hidup dan substansial–ketika kamera menyorot karakter utama, tokoh lain yang menjadi background tidak hanya nampak sekenanya, namun berperilaku sebagaimana mestinya. Dengan eksplorasi kondisi ini secara lebih layak, bridging dan hint yang bertebaran sejak durasi bergulir semestinya bisa lebih mengena dan teratur.

Allied tampil istimewa sebab performa multilayer Pitt dan Cotillard adalah nyawa utamanya–tentu ditopang cantiknya sinematografi, tone warna, production design, costume design, make-up, serta hairstyling.

Andai saja scoring disisipkan secara lebih tahu diri–tidak berlebihan di adegan tertentu–toh di sini tanpa suara justru lebih berbicara. Dengan balutan peran ganda, ini adalah salah satu chemistry terkuat di karya layar lebar sejak milenium baru dikukuhkan, heart wrenching.

Meski ditutup secara generik, paling tidak secara keseluruhan film ini berhasil mengingatkan audiens bahwa sisi emosional dan moral manusia akan selalu menjadi anomali dunia–dan mampu menggugat berbagai batasan rigid dari berbagai kesepakatan yang sudah ada. Siapa pun itu.

Allied memperoleh 8.5 dari 10 bintang.

Film Allied (2016) telah ditonton pada 23 November 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading