JK Rowling bukan hanya pencerita yang baik. Dia juga penjaga rahasia kelas kakap yang bisa diandalkan.
Ayo buktikan: dengan proyek ambisius Fantastic Beasts ini, sudah berapa persen dari calon penonton yang juga penggemar tuturannya dibuat menebak-nebak arah plotnya bakal ke mana?
Sejak awal kita hanya tahu bahwa film ini akan mengikuti seorang Newt Scamander yang berkunjung ke New York tahun 1920-an dan malah mengalami gangguan gara-gara koper ajaib bawaannya. Koper itu memiliki dua dimensi, pertama sebagai koper pada umumnnya, kedua sebagai pintu ke “dunia lain” seorang Newt. Di dunia itu, dia menyelamatkan hewan-hewan sihir yang kebanyakan dianggap berbahaya. Ya, Newt memburu hewan ajaib tidak untuk dibasmi, justru dilindungi.
Kurang lebih hanya deskripsi itulah yang kita tahu selama ini—sebelum filmnya tayang. Lainnya? Nyaris nihil.
Semua orang yang terlibat, baik di depan kamera maupun di belakang kamera seolah diharuskan tutup mulut rapat-rapat. Beberapa detail kecil baru mulai terungkap ketika teaser serta trailer dirilis, kemudian disusul oleh sekian hint yang munculnya masih juga diselimuti oleh tanda tanya menjelang tanggal perilisan—dan berbagai hal tersebut tidak juga membentuk sebuah peta lengkap yang bisa dibaca.
Kurang ajar sekaligus semakin menggairahkan memang!
Saya jarang membuka review film dengan impresi latar belakang semacam ini. Namun proyek Fantastic Beasts and Where to Find Them sialannya nampak seksi sejak awal diumumkan.
Jelas nama besar Harry Potter sangat membantu dalam hal menaikkan kadar excited yang ada. Sebagai pembaca novel-novelnya yang beruntung masih mampu rasional dalam menilai adaptasi filmnya, pengalaman untuk kembali ke dunia sihir tidak boleh saya embargo begitu saja.
Khusus saga dunia sihir rekaan JK Rowling, selama ini saya terbiasa membaca novelnya terlebih dahulu. Artinya, saya sudah lebih dulu mengetahui bagaimana plot dan subplot-nya dibangun secara terstruktur. Ironis, kali ini bekalnya hanyalah ingatan bahwa saya sudah pernah membaca bukunya—yang tidak ada plot sama sekali, hanya berwujud ensiklopedia.
Fantastic Beasts ini benar-benar sempat membuat saya canggung.
Laksana seseorang yang sebenarnya sudah sangat kenal dengan orang-orang di sebuah lingkungan, namun kemudian mendadak dibuat merasa sangat asing. Sampai di sepertiga durasi, gumpalan kekhawatiran itu—bagaimana kalau datar, bagaimana kalau tidak sespesial Harry Potter, dan seterusnya—terus saja mengintai. Padahal pikiran pasrah sudah dipersiapkan semenjak mulai duduk di dalam bangku bioskop.
Kalutnya kayak berlebihan, ya. Padahal di film-film lain, mengonsumsi dengan nol informasi di muka adalah kewajaran. Bahkan perumpamaan gelas kosong bisa selalu dipakai.
Kali ini JK Rowling-lah yang memegang kendali penuh penulisan skripnya—setelah tujuh dari delapan film Harry Potter skenarionya ada di tangan Steve Kloves. Dan?
Film ini tidak kehilangan pesona dunia sihir.
Ya, sejak awal durasi bergulir penonton sudah diwanti-wanti bahwa kisahnya di sini bakal cukup dewasa—melalui logo Warner Bros yang diselimuti kegelapan. Dewasa di sini bahasa gampangnya tidak serupa dengan Harry Potter 1-2, tetapi lebih condong ke Harry Potter 3-7II. Lebih sederhananya lagi, kalau kamu terbiasa dengan tone film-film David Yates termutakhir, nah begitulah gambarannya.
Harus saya katakan, bagian terbaik di film ini bakal menghinggapimu di sepertiga terakhir durasi.
Ada cukup banyak surprise beruntun yang diberikan. Kejutan yang cuma “dunia sihir ini” yang bisa memberikan. Bagi pengikut saga ini, Fantastic Beasts merupakan sajian penuh nostalgia sekaligus penguji trivia. Bagi yang baru mengikuti, ada banyak elemen yang memungkinkan untuk memantik munculnya pertanyaan-pertanyaan menarik dan tidak sabar untuk sesegera mungkin dicari tahu jawabannya.
Jelas harus ada pujian bagi departemen visual: costume design, production design, sinematografi, serta visual effect.
Apa jadinya film ini kalau tidak ada mereka? Departemen visual adalah nyawa integralnya. Rasakan sensasi terlempar ke New York masa lampau dan bergumul dengan visual dari hewan-hewan gaib. Lebih istimewanya, sensasi intim itu nyata. Di banyak bagian, penonton serasa dilibatkan langsung dalam scene yang sedang berjalan.
Selain itu, saya dibuat senyum-senyum sendiri kala mendengarkan scoring-nya—terima kasih James Newton Howard.
Tentu selain karena kembalinya musik khas Harry Potter, akhirnya setelah sekian lama, New York bakal kembali mempunyai musik khas baru.
Film Fantastic Beasts sempat mengalami disorientasi di awal, ini gara-gara penumpukan plot dan sub-plot yang cukup ngambang dan tergesa-gesa.
Pun ada beberapa cutting adegan di editing yang saya kira terlambat sekian detik—untuk memuluskan kontinuitas. Namun, pelan-pelan kebingungan dan kerancuan itu terus bisa disusun dengan baik. Apalagi disokong karakter-karakter memorable yang sukses dipresentasikan secara menarik.
Kita memiliki ikon baru, seorang Newt yang saya sendiri kesulitan merumuskan personanya.
Dia adalah karakter yang janggal tetapi nagih untuk terus disimak. Apalagi mimik mukanya! Eddie Redmayne kembali membuktikan bahwa dia sangat bisa diandalkan di proyek-proyek ambisius.
Lainnya, ada Jacob Kowalski (Dan Fogler) seorang tukang roti yang secara mengejutkan berhasil membuat suasana sangat hidup—bersama dengan Queenie (Alison Sudol) dengan kelakuan polos-centilnya. Pun, Katherine Waterston sebagai Tina, meski di mata saya penampakannya masih nanggung, sempat mengalami kebingungan atas pijakan karakternya, tetapi progres keterlibatannya ke depan cukup cerah.
Oh, jangan lupakan Ezra Miller si Credence, dengan riddle dan perawakan mencurigakan sejak awal, ternyata dia diberikan tribute yang sangat layak di akhir. Tribute semacam ini juga dimiliki oleh karakter-karakter “tambahan” yang pada akhirnya justru menjadi surprise verdict, misalnya kemunculan Johny Depp sebagai Grindelwald—padahal di banyak pemberitaan menjelang perilisan dibilang bahwa Johnny baru akan muncul di seri selanjutnya.
Celetukan yang muncul pasca menandaskan film Fantastic Beasts adalah: JK Rowling, tulis versi novelnya, please!
Ini adalah pembuka yang solid. Sekaligus pembuka yang mengasyikkan bagi penonton untuk mulai menebak-nebak kira-kira bakal bagaimana ke depannya—sebab kali ini kita paling tidak sudah memiliki patokan.
Satu hal yang sampai sekarang masih membuat saya bersemangat: di Harry Potter, kereta api dan statiun adalah hal yang vital—pembuka dan penutup durasi mayoritas melibatkan kendaraan ini—sedangkan di Fantastic Beasts, kapal laut dan pelabuhan merupakan primadona berikutnya—menjadi pembuka dan penutup juga. Meski ini masih dugaan prematur, saya menaruh harap supaya di seri berikutnya, formula inilah yang bakal dibakukan.
Sampai jumpa lagi, Newt!
Fantastic Beasts and Where to Find Them memperoleh 8.5 dari 10 bintang.
Film Fantastic Beasts and Where to Find Them (2016) telah ditonton pada 16 November 2016, review resmi ditulis pada 17 dan 19 November 2016.