Wednesday, July 24

Review Film | “Hell or High Water (2016)” Tentang Kesepian

Menikmati Hell or High Water secara utuh artinya juga harus paham makna literal judulnya.

Idiom ini bisa jadi masih awam di telinga penonton Indonesia, makna denotasinya adalah: tindakan sesulit apa pun akan ditempuh demi mencapai tujuan. Dan itulah nyawa sebenarnya dari film western modern ini.

Film ini adalah tentang Tanner Howard dan Toby Howard—kakak seorang mantan napi nan temperamen dan adik yang dihimpit masalah ekonomi—serta Marcus Hamilton—aparat kepolisian di penghujung masa jabatan. Paralel pertama menunjukkan tindakan perampokan di sebuah kantor di sebuah kota yang sebelum-sebelumnya adem ayem. Karena memang background mereka bukanlah komplotan perampok kompeten, tindakan yang dilakukan justru penuh dengan “ketidaksiapan dan ketidakprofesionalan”. Di sinilah talian “si jahat” dan “si baik” untuk pertama kali disinggungkan.

Menyinggung tentang film western modern, sebenarnya saya tidak terlalu “masuk” ke genre ini.

Saya ingat betul waktu itu, ketika No Country for Old Men (2007) memperoleh pujian tak berkesudahan, saya justru merasa rekognisi tersebut berlebihan. Sikap ini bukan berarti mengesampingkan aspek “matang”-nya, seperti karakter yang ikonik dan kesuksesan si film dalam menjaga atmosfer yang mencekam tak berkesudahan. No Country for Old Men tetaplah sebuah film yang bagus, tapi tidak bagus-bagus amat.

Di Hell or High Water, kekhawatiran bahwa saya akan berimpresi serupa pun sempat menyeruak. Untungnya, saya lumayan lebih menyukai film ini. Kita sebagai penonton dihadapkan pada realitas di mana muncul banyak tindakan konyol nan ironis atas keputusan gegabah yang dilakukan karakter-karakternya. Itulah mengapa di paragraf sinopsis, jahat-baik saya beri tanda petik. Seiring berjalannya durasi, batasan jahat-baik itu kabur dengan sendirinya, yang tersisa hanyalah zona abu-abu.

Beranjak dari sinilah, maka naskah Hell or High Water garapan Taylor Sheridan ini bisa dibilang monumental.

Narasi film ini tidak berupaya mengambil skop penceritaan yang luas, justru sangat sempit. Lalu muncullah status quo yang dikacau oleh setitik entitas yang kebetulan terlilit perkara finansial dan balada keluarga. Ketika para perampok merasa tidak tenang dan terburu-buru, justru aparat kepolisian terlalu santai seolah tidak terjadi insiden luar biasa, kontras. Semuanya bergantian dimunculkan secara dinamis tanpa terkesan tiba-tiba ada. Motivasinya jelas dan tujuannya tidaklah muluk-muluk. Tokoh-tokoh sepolos di film ini sungguh langka, saking polosnya justru ini lebih sulit untuk digarap dan diciptakan.

Jeff Bridges dan Chris Pine adalah yang paling bersinar di sini.

Bahkan untuk Chris Pine, ini adalah performa terbaik sepanjang karier aktingnya sampai hari ini. Apalagi dengan dukungan departemen teknis: sinematografi, scoring, production design, serta make-up dan hairstyling. Saya sampai dibuat pangling oleh rupa muka para tokoh utamanya.

Di lain hal, inilah contoh film yang semestinya membuat kita bakal manaruh hormat pada fase lambat.

Tidak perlulah itu memforsir performa dan sekuens hingga rasa intens-nya malah terkesan dipaksakan. Hell or High Water telah menunjukkannya secara apik dengan takaran yang pas.

Hell or High Water adalah tentang kesungguhan yang diupayakan semampunya.

Pada akhirnya, ketika di awal nampak ada sekat yang jelas tentang siapa pelaku dan siapa korban, di penghujung hal tersebut bakal rontok seluruhnya. Semua adalah korban, entah lewat mekanisme dan petaka yang bagaimana.

David Mackenzie berhasil mengarahkan sebuah film yang secara percaya diri mengartikulasikan terma “kesepian”.

Jelas ini bukanlah film yang bakal bisa memuaskan secara universal untuk semua orang. Sangat mungkin tetap ada yang tidak nyaman dengan kelambatan pengisahannya. Namun, kondisi tersebut tidak bisa mereduksi fakta bahwa ini adalah film yang mapan.

Hell or High Water memperoleh 8.5 dari 10 bintang.

Film Hell or High Water (2016) telah ditonton pada 23 November 2016, review resmi ditulis pada 22 Februari 2017.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading