Critical Eleven (2017) di Ngepop tersedia dalam dua review terpisah: dari sudut pandang yang sudah membaca novelnya dan dari sudut pandang yang belum membaca novelnya. Tulisan ini adalah versi bukan pembaca novelnya.
Critical Eleven menceritakan tentang pernikahan Ale (Reza Rahadian) dan Anya (Adinia Wirasti) yang dipertemukan semesta di pesawat. Kemudian secara aneh mereka menemukan kecocokan saat bersama-sama. Kejadian berikutnya, mereka: berpacaran, menikah, lalu memutuskan tinggal di New York, Amerika Serikat. Keduanya menuruti konsekuensi pekerjaan Ale yang bekerja di rig di benua itu. Selanjutnya, seperti yang ada di trailer: bayi Aidan di dalam kandungan Anya meninggal, lalu Ale dan Anya berhenti berkomunikasi. Sepertinya efek berhenti berkomunikasi inilah yang menjadi benang merah Critical Eleven.
Konflik timbul karena keduanya menyayangi Aidan dengan cara yang berbeda dan sebenarnya sangat merindukan satu sama lain.
Kerinduannya berhasil digambarkan dengan manis melalui tatapan tak bersuara. Namun, treatment-nya tidak benar-benar berhasil menggambarkan kesedihan Ale dan Anya. Bayangkan sebuah film berdurasi 135 menit dan sebagian besar durasinya menceritakan tentang dua orang yang berhenti berkomunikasi. Kesal kan ya melihat Anya dan Ale banyak diam dan saling menghindari (lalu marah-marah sendiri).
Dampak negatifnya adalah lelah. Di pertengahan film, tiba-tiba timbul urgensi bagi saya untuk menekan tombol forward. Lupa kalau sedang duduk di bioskop.
Porsi kesedihan Ale dan Anya banyak sekali sampai capek (dan bosan) menonton mereka.
Rasanya tidak apa-apa jika scene Anya menenggelamkan diri di kolam renang itu tidak ada. Kesedihan Anya justru lebih terasa saat berkumpul di kafe bersama teman-temannya. Senyum yang sungguh-sungguh tidak bisa diukir itu sama sedihnya dengan menangis, kok. Plus, rasanya tidak apa-apa jika scene Ale beribadah juga tidak ada. Toh dari awal film ini tidak ada tanda-tanda nilai religius, kecuali scene di depan penghulu. Jadi ketika tiba-tiba Ale beribadah, di otak saya malah terpikir, “Loh, kok, tumben.”
Lebih lanjut, porsi kesedihan dalam Critical Eleven ini bagai dua sisi mata uang.
Kalau bawaan dari novelnya memang sebanyak itu, film ini mungkin bisa dianggap berhasil—sebaliknya, kalau ini dianggap sebagai karya film, fase ini sungguh melelahkan. Sedih di situ adalah sedih yang membuat capek dan ingin segera menyelesaikan masalah utamanya. Jadi film ini menyadarkan kalau kesedihan tidak akan berhenti sampai diri sendiri yang menghentikannya.
Terlepas dari catatan-catatan tersebut: dear seluruh kru, terimakasih telah memanjakan mata penonton dengan gambar-gambar yang indah. Cantik sekali.
Bahkan bagian shaky di pusat New York dan stadion pun tetap enak dipandang. Kebahagian Ale dan Anya tetap terpancar dengan baik, bahkan seperti menyala-nyala. Positive and romantic vibes-nya memenuhi ruang bioskop dan sungguh membuat iri.
Sayangnya, vibes ini tidak bertahan sampai akhir.
Rasa-rasanya film ini tidak perlu ditarik sampai ulang tahun Ansel, adiknya Aidan. Dicukupkan saja sampai di awal hubungan Donny (Hamish Daud) dan Renata (Mikha Tambayong). Sehingga poin utama Critical Eleven akan lebih nendang dan membekas di ingatan: 11 menit penting dalam pertemuan pertama adalah 3 menit awal saat bertemu dan 8 menit terakhir sebelum berpisah.
P.S: memasang iklan di film itu tidak apa-apa, sungguh, tapi tolonglah iklan e-toll itu bikin gemas. Soalnya ya, Ale mengambil kartu e-toll dari tempat kacamata. T e m p a t k a c a m a t a.
Critical Eleven memperoleh 7.8 dari 10 bintang.