Ingat Boyhood yang fenomenal itu? Moonlight memiliki akar yang sama: pencarian identitas semampunya.
Film ini berkisah tentang fase kehidupan seorang anak keturunan ras Afrika-Amerika di sebuah permukiman kulit hitam di Miami, Amerika Serikat. Kehidupannya ternyata terlalu banyak dikado oleh semesta. Dia hidup bersama sang ibu yang seorang pecandu narkoba akut; mesti terbiasa dengan bully; menemukan “rumah kedua”; berdamai dengan preferensi seksual; hingga menyesap sari pati kehidupan secukupnya.
Moonlight adalah film yang sangat jujur.
Seolah kita sedang menyaksikan orang terdekat kita (misalnya, adik) yang sedang mempelajari berbagai hal untuk mencapai level penerimaan masyarakat. Sama halnya dengan ucapan di review film Boyhood (2014), ini adalah genre film di mana saya memohon dengan sangat supaya tokoh utamanya tidak mengalami konflik apa pun.
Namun, perjalanan hidup macam apa yang bebas konflik?
Karena fakta absolut inilah, baik Boyhood dan Moonlight sama-sama sanggup membuat perasaan saya ketar-ketir waktu menyaksikannya. Lebih bikin panik sebab Moonlight, sayangnya, terlahir di tengah masyarakat yang terlanjur kompleks dengan konflik horizontal. Lebih heartbreaking lagi ketika kita tahu bahwa dia turut memanggul kebingungan karena ternyata ada beberapa hal yang dipersulit (susah mendapat dukungan) di lingkungan tumbuhnya: seksualitas, salah satunya.
Pengisahan film ini dibagi ke dalam tiga babak krusial yang mesti dilalui manusia mana pun: anak, remaja, dan dewasa. Transisi ini tidak dibiarkan mentah begitu saja, Moonlight menyubtitusinya dengan sub-judul: Little, Chiron, dan Black.
Berlatar Miami, berasal dari ras kulit hitam, dan gay, perjalanan hidup bocah ini jelas tidak mudah.
Pergulatan batin dan sosialnya sukses menohok isu krusial tentang diskriminasi terhadap minoritas. Ini adalah pelajaran hidup yang tidak hanya penting untuk diasup oleh minoritas yang kemungkinan memiliki kondisi bertingkat presisi tinggi, tapi juga untuk golongan yang secara sosial disebut/menyebut diri sebagai mayoritas. Keduanya bertanggung jawab penuh untuk tetap menjadi manusia, yang memperlakukan setiap orang dengan tangan terbuka.
Lagian, kalau ada penonton yang memilih untuk berpandangan picik (dengan melupakan esensi kehidupan) alias cuma ditonton dari permukaan, tentu kehidupan Little tidak akan nampak menantang. Mengingat dia memang tinggal di lingkungan yang ber-ras sama.
Namun, kita pun harus bijak dan paling tidak mesti paham bahwa karena faktor homogenitas ini, kesehariannya justru menjadi lebih keras–dibanding kalau lingkungannya heterogen. Dia berbeda. Dia harus terbiasa dengan kultur sosial yang ada, dengan menjadi tahan banting secara mental dan fisik di mana untuk mencapai predikat sejahtera saja, nyawa seolah diobral sebagai bahan taruhan.
Moonlight tahu bagaimana harus mengemas dirinya supaya tidak sekadar menjadi sebuah film rasial.
Hasil akhirnya, kita disuguhi oleh hidangan pembuka, utama, dan penutup yang kaya. Kaya secara rasa maupun secara wujud penyajian. Tengok bagaimana sinematografinya begitu fluid dan memanjakan mata–sejak adegan pembuka. Film ini juga menggunakan teknis warna yang sangat dinamis, sekali waktu kontras, di kemudian langsung semburat baur-lebur–penyesuaian isi hati yang sering tepat dalam representasinya.
Dengan rentang periode penceritaan yang sangat panjang, di sini kita diberi ruang yang cukup untuk melihat bagaimana emosi para karakternya berevolusi.
Saya kagum dengan perlakuan Moonlight terhadap karakter ibu dari Chiron. Di awal dia digambarkan sebagai seorang perempuan bermasalah yang lazim bermuka dua ketika berada di hadapan anaknya. Bahkan sentimennya tidak bersahabat dengan Juan dan Teresa–orangtua kedua bagi Chiron. Beranjak dari kondisi ini, hilangnya simpati dan tergantikan dengan kegeraman terhadap Paula sangatlah wajar.
Di bagian remaja, kehadiran si ibu semakin mencuatkan kemarahan ke ubun-ubun. Chiron seolah cuma dilabeli “taken for granted”. Di satu sisi Little sudah bisa bersikap, tetapi di sisi lain dia tetaplah anak yang masih meraba-raba “harus bagaimana”.
Baru selanjutnya, di bagian Black kita dihantam realitas. Bahwa sekeras apa pun perlakuan masa lalu, penebusan dan kasih sayang adalah hal paling tidak masuk akal di dunia. Sekuat apa pun desakan supaya sejak kecil Chiron berani balik melawan (fight back), dia tetaplah sosok yang terlampau pengasih–antitesis dari orang-orang sekitarnya. Tengok bagaimana penonton yang dibuat antipati terhadap sang ibu sejak awal, di Black tiba-tiba ikut merasakan betapa besar dan hangatnya hati seorang Chiron.
Pembagian tiga babak ini pun tidak hanya berhasil membuat kita terikat dengan para karakternya dalam waktu singkat. Kita seolah menyaksikan tiga film panjang yang dipadatkan ke dalam satu tatakan. Implikasinya bukan hanya Chiron dan ibunya yang tampil menyesakkan, tetapi juga evolusi interaksi-interaksi lain lintas era.
Moonlight adalah film yang elemen tekstualnya sangat puitis sekaligus mempesona secara persona tampilan.
Apalagi masih ditambah transisi masa yang sangat lugu dan lebur dalam perjalanan menemukan diri sendiri, lengkap sudah. Terima kasih Barry Jenkins atas pengarahan serta naskah yang damainya begitu nyata, tidak meributkan konfrontasi. Terima kasih Naomie Harris (Paula), Mahershala Ali (Juan), Janelle Monae (Teresa), Alex Hibbert (Little), Ashton Sanders (Chiron), dan Trevante Rhodes (Black) yang tiap kehadirannya bikin perasaan campur aduk. Terima kasih departemen teknis, utamanya sinematografi, production design, video editing, scoring, serta sound editing, pengalaman komplit ini tidak akan mewujud kalau tanpa dedikasi dan hati yang kalian curahkan. Terima kasih Moonlight.
Moonlight layak diganjar 10 dari 10 bintang.
Film Moonlight (2016) telah ditonton pada 30 Desember 2016 dan 3 Januari 2017, review resmi ditulis pada 16 dan 22 Januari 2017.