Thursday, December 5

Review Film Indonesia | “Istirahatlah Kata-Kata (2016)” Wiji Thukul yang Manusia Biasa

Segarang-garangnya citra seseorang, mereka tetaplah orang, bagian dari entitas manusia.

Yang antara takut dan nekat kadang tidak kenal alokasi ruang dan waktu. Yang antara provokatif dan sekadar jujur pada diri sendiri kadang beda efek karena faktor tafsir orang lain beda-beda. Itulah sosok Wiji Thukul yang dibawa oleh karya sinema berjuluk Istirahatlah Kata-Kata garapan Yosep Anggi Noen.

Istirahatlah Kata-Kata menyoroti seorang Wiji Thukul yang mesti berpindah-pindah tempat persembunyian sejak tahun 1996. Namanya masuk dalam daftar DPO karena menjadi bagian dari Partai Rakyat Demokratik yang saat itu keberadaannya melanggar Undang-Undang, sekaligus karena puisi-puisinya dianggap bertanggungjawab memprovokasi massa untuk menggulingkan rezim Soeharto, Orde Baru. Wiji yang kemudian memilih bersembunyi di Pontianak, meninggalkan istri dan anak-anak di Solo, harus merelakan sekian waktu dalam hidupnya bergumul dengan kekhawatiran buah ketidakpastian situasi.

Dari impresi pasca menonton, film bisa dikategorikan ke dalam dua jenis: pertama, yang menimbulkan diskusi panjang karena ada pemikiran mengagetkan yang dituangkan; kedua, yang menyampaikan gagasan dengan runtut sehingga paling tidak siapa pun penontonnya bakal punya simpulan yang saling serempet. Istirahatlah Kata-Kata ini curang sebab berhasil bermain di dua kaki.

Hampir bisa dipastikan, resepsi para penonton terhadap film ini pasti tidak jauh-jauh dari terma: puitis.

Bukan hanya karena film ini memang berafiliasi dengan pemaknaan puisi karya Wiji Thukul, bukan cuma karena tokoh utamanya adalah penulis puisi yang terlampau jujur, bukan juga sekadar karena narasi puisinya disebar sejak dari pembuka sampai penutup; tetapi sebagai satu kesatuan karya audio visual, Istirahatlah Kata-Kata puitis di semua aspeknya, teknikal dan substansial.

Kalau mau dirunut secara harfiah, suatu hal bisa dikatakan puitis ketika mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman sekaligus mampu membangkitkan aspirasi-aspirasi isi batok kepala.

Film ini menunjukkan kepada kita bagaimana kesederhanaan berpikir seorang Wiji, yang sekolah tingkat atas saja harus drop-out sebab masalah finansial, mampu dimanifestasikan dalam tulisan sekaligus ditampilkan dalam bidikan-bidikan visual. Film ini benar-benar tidak aneh-aneh. Saking ingin mematok kesan sederhana, bahkan kamu bisa mengamati berapa kali kamera bergerak–mayoritas hanya statis.

Karena tidak bergerak inilah, penonton pun bisa menyesap pemaknaan yang lebih dalam.

Yang jadi perhatian kita waktu menontonnya adalah apa-apa saja yang bergerak dalam bingkai sempit itu. Lihat bagaimana film ini mampu bermain apik dengan mengandalkan gurat wajah para pemainnya dalam jarak dekat. Keintiman ini pun adalah salah satu perwujudan terma puitis tersebut. Belum lagi ketika gambar menyorot berbagai kondisi alam yang turut bergeming, maupun sorotan interaksi jarak jauh yang seolah memang ingin jaga jarak. Menontonnya sekira ada perhitungan matematis supaya perjuangan merebut kebebasan itu tidak pupus begitu saja.

Selanjutnya secara substansial, Istirahatlah Kata-Kata sukses mewujud presentasi yang tidak eksklusif milik golongan tertentu.

Anggaplah saya adalah orang yang jiwa aktivisnya memang tidak terlalu kental, apakah berarti spirit Wiji susah terdifusi dengan baik? Nyatanya tidak. Malah, karena film inilah saya jadi punya banyak bahan untuk ditelusuri lebih lanjut, berdiskusi, pun timbul keinginan lebih untuk mengetahui peristiwa apa yang mendahului dan yang jadi suksesor pasca teks penutup ditampilkan.

Di sini sosok Wiji digambarkan sebagai orang biasa, dan sangat mungkin kesan ini pulalah yang ingin Wiji lekatkan pada dirinya seumpama insiden “penghilangan” itu tidak menyeruak.

Sosoknya tidak kesulitan tampil relevan dan universal bagi semua golongan. Pun begitu, dalam larik-larik puisinya tidak melulu politik yang diumbar, dia lebih menyoroti berbagai bentuk ketidak-adilan, yang mana ini adalah masalah border-less.

Bermain dengan ironi, film ini tahu bahwa keheninganlah yang bisa menjadi penengahnya.

Bukan hingar-bingar. Tidak mengherankan kalau kemudian aspek musik latar begitu minor namun efektif. Keheningan itu pula yang dipersembahkan sebagai pembuka dan penutupnya. Keheningan yang membuat saya sebagai penonton merasa tidak nyaman dalam posisi duduk karena mencoba-coba menerka apa saja yang berkecamuk di pikiran para tokohnya, terutama Wiji dan Sipon yang ditampilkan dengan terlalu prima oleh Gunawan Maryanto dan Marissa Anita.

Menyimak ragam pujian di atas, apakah Istirahatlah Kata-Kata tampil baik-baik saja? Sejujurnya di banyak bagian memang iya. Jelas ini adalah film yang lambat, bagi sebagian orang mungkin cukup mengkhawatirkan. Di luar itu, hanya ada beberapa gambar yang nampak dimaksudkan diam namun menggalami pergeseran maupun tidak stabil. Lalu bobot paruh awalnya agak timpang karena banyak substansi yang berjejalan–terutama background politis, sebab memang inilah penyebab utamanya.

Istirahatlah Kata-Kata adalah hadiah kemanusiaan yang tulus.

Setulus production design dan naskahnya yang menyisipkan banyak elemen ikonik masa lampau, semisal: tipe motor, diidak-idak, penghapus dari karet gelang, dan semacamnya. Masih ditambah narasi dan dialog tepat sasaran. Saya ingat betul narasi Wiji yang menyinggung usaha memberangus yang dilakukan oleh penguasa di depan anak-anaknya, dan disebutkan itu justru adalah bukti pelajaran yang tidak pernah dituliskan.

Menonton film ini mengingatkan saya pada Athirah (2016). Kejujuran bertutur, kesan puitis, pemilihan periode singkat penceritaan, keheningan, hingga perasaan yang timbul pasca menandaskannya mirip. Keduanya serapa kembar beda jenis kelamin tetapi level keberaniannya sama.

Istirahatlah Kata-Kata memperoleh 8.5 dari 10 bintang.

Film Istirahatlah Kata-Kata (2016) telah ditonton pada 19 Januari 2017, review resmi ditulis pada 21 Januari 2017.

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading