Tidak hanya berhasil membuat standar film horor buatan Indonesia naik kelas, bahkan akselerasi; remake Pengabdi Setan garapan Joko Anwar sukses menjadi sajian yang koheren dan dan tidak repetitif.
Narasi film ini berkutat pada periode singkat: pra-ibu meregang nyawa hingga seketika pasca kepergiannya. Ibu yang mantan penyanyi kondang terpuruk di atas ranjang tidurnya: tidak lagi punya materi–royalti pun sudah kandas–dan tubuhnya dihabisi “penyakit” misterius. Selang sebentar, Ibu sudah tidak mampu menopang derita, dia tiada tapi tidak sirna. Keluarga yang ditinggalkannya terjebak dalam pusaran teror supranatural. Mereka harus merana dampak perjudian si Ibu dengan sekte pemuja iblis.
Selayang pandang, dalam kamus saya, ada dua genre film yang susah lepas dari penilaian super-subjektif: komedi dan horor.
Dan sebelum dihamparkan lebih jauh, perlu ditekankan di sini bahwa mekanisme kritik film, di mana pun diterbitkan, tidak pernah murni objektif; selalu subjektif dengan kerangka objektif. Memang, ada genre film tertentu di mana kita sebagai penilai bisa dengan mudah menyusun formula penilaian, “Kenapa film ini bisa dikategorikan sebagai karya yang bagus?” (film-film awards season misalnya). Lebih mudahnya, genre yang dimaksud, mayoritas adalah mereka yang selain komedi dan horor.
Dalam konvensi standar keberhasilan kualitas film komedi dan horor, syaratnya tidak jelas. Hal ini sangat tergantung pada preferensi seseorang maupun bawaan faktor-faktor internal lainnya. Ambil contoh begini: bagi saya, Ngenest (2015) merupakan film komedi yang juara; guyonannya efektif, tidak berusaha terlalu keras, dan apa adanya. Meski begitu, kadar kesukaan saya terhadap humor di Ngenest bisa berbeda dengan penonton lain; satu yang pasti, mayoritas pasti berkomentar Ngenest adalah film drama-komedi yang berhasil. Kasus lain yang lebih miris: bagi saya Grandma (2015) merupakan film yang sangat menarik dan lucu; naasnya, ketika saya putarkan film itu ke teman-teman saya, hampir semuanya melontarkan, “Ef, ini lucunya sebelah mana, ya?”
Lalu dari situ, coba sekarang tarik ke film horor. Sampai sekarang (dibanding komedi), saya masih kesulitan dalam menilai “film horor yang bagus” itu yang seperti apa. Saya suka The Exocist, saya suka The Sixth Sense, saya suka Don’t Breathe, dan beberapa judul lain; namun, saya belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan tentang “payung besar” apa yang bisa menaunginya (apa yang membuat film horor bisa disebut bagus)? Berbeda dari komedi yang pakemnya cukup simpel–asal koheren dan mulus mengundang gelak tawa–film horor ini masih sangat terpolarisasi variabel tanda keberhasilan kualitasnya.
Apakah film horor yang bagus itu yang setannya seram? Atau yang jumpscare(s)-nya efektif? Atau yang berhasil bikin teriak-teriak meski ceritanya tidak kokoh? Ataukah yang ketika ditonton rasanya biasa saja tapi efek pasca menontonnya bikin terbayang-bayang?
Tidak ada kesepakatan yang paling menonjol di sini. Itulah sebabnya, selama ini ketika menilai film horor saya masih menggunakan pertimbangan “darurat” (mengadopsi standar penilaian dari film drama-biopik), yakni: cerita yang bagus (koheren) dan perasaan yang membekas habis menonton.
Dengan modal tersebut, secara percaya diri saya bilang bahwa Pengabdi Setan (2017) adalah film horor yang bagus.
Tidak hanya bagus, bahkan di skala nasional, kemunculannya berhasil menggeser Keramat (2009) yang selama ini saya anggap sebagai terbaik. Sekalipun batasan nasional-nya dihapus, ini tetaplah salah satu film horor terbaik yang pernah dibuat.
Pengabdi Setan adalah perayaan kualitas.
Tidak mau lupa daratan, Joko Anwar menyelipkan banyak homages ikonik. Baik itu di level adegan maupun level atmosfer. Ini adalah keputusan yang menantang, sebab kalau tidak paham betul, jatuhnya malah bisa dianggap penistaan.
Melalui penataan elemen yang rapi (adegan, production design, pemain, scoring, sinematografi, editing, beserta keroyokan departemen teknis lain), Pengabdi Setan melakukan eksplorasi skema klaustrofobia secara baik. Seting siang maupun malam, penonton seolah selalu menonton film ini dari celah intip kotak mainan milik Bondi (yang mirip teropong). Pandangan kita dibatasi, sengaja dikungkung rasa penasaran, dan terlalu takut untuk sekadar berpaling ke luar bidang pandang. Perhatikan pula bagaimana usaha film ini untuk tampil begitu dekat dengan tetap menyertakan ambience natural–suara cicak, misalnya. Penonton hampir selalu serasa “dilibatkan” dalam adegan.
Skema itu direkatkan oleh pengisahannya nan rapat. Berbeda dari film horor kebanyakan yang hobi mengulang-ulang momen sampai penontonnya hapal dengan strategi tengiknya, Pengabdi Setan mampu bertutur tanpa bertindak repetitif. Sekalipun ada pengulangan adegan yang tampaknya mirip, film ini selalu memberikan alternatif kebaruan dan mengaburkan kesan usang (cek adegan Rini melihat Ibu berdiri).
Naskahnya mengerti cara menjaga tempo, mengundang kekehan penonton, sekaligus jeli menebar clues–yang sebetulnya sudah diberikan jawabannya sekaligus, bagi penonton yang awas.
Detail yang membuat diskusi pasca menonton bisa berujung asyik. Amati bagaimana Pengabdi Setan kali ini berani meramu utas bahwa film ini bukanlah “one man show”. Sebuah keputusan yang cukup menarik sebab selama ini pemuka agama sering ditempatkan sebagai sosok yang sakti mandraguna. Dengan daya logika, keputusan ini begitu wajar, mengingat yang menjadi biang kerok di sini adalah iblis, entitas yang licin; bahkan beragam kisah keagamaan fasih menyebutkan bahwa nabi/rasul sekalipun tetap kewalahan menghadapinya. Dobrakan semacam inilah yang membuat saya mau memaafkan beberapa baris dialog yang masih kurang lebur.
Kudos kepada Joko Anwar yang tidak hanya apik menyusun naskahnya, tetapi juga berani menyorongkan visinya.
Dia membuat kerajaan bisnis film horor Indonesia panik dan mesti mengadakan rapat evaluasi darurat; dia ampuh menelurkan “film bagus”, tidak cuma “film horor bagus”; dia mewariskan sebuah potensi franchise yang menjanjikan; apalagi dia ngerti tentang optimalisasi ikon-ikon horor (lonceng, lagu Kelam Malam, dan sosok Ibu).
Pengabdi Setan adalah fenomena.
Dan ternyata sekian puluh tahun ke depan film ini masih terus diingat, setidaknya Joko Anwar telah mengamankan satu kursi sebagai salah seorang sutradara terbaik Indonesia (tanpa mengabaikan filmografinya yang lain). Satu salam pamungkas: departemen pemerananan mempersembahkan kesolidan yang sublim–terutama penampilan Tara Basro dan M Adhiyat. Traumatis.
Pengabdi Setan memperoleh 8.8 dari 10 bintang.
Film Pengabdi Setan (2017) telah ditonton pada 28 September 2017, review resmi ditulis pada 18 Oktober 2017.