Thursday, July 25

Review Film | “Sing (2016)” Tanpa Deretan Lagu Hits, Sing Nihil

Bayangkan dirimu sedang mencari video kompetisi menyanyi di YouTube, disusun ke dalam playlist, tetapi seluruh manusianya berwujud hewan-hewan. Itulah yang bakal ditemui ketika menonton Sing di pembuka dan penutup.

Dengan probabilitas “bakalan bagus” yang cukup besar, nyatanya film ini justru mempermalukan dirinya sendiri.

Kesalahannya tertumbuk pada satu perkara besar: para kreatornya keasyikan dengan ragam subplot sampai-sampai plot utamanya berada di ujung tanduk.

Sing mengisahkan tentang seekor koala bernama Moon yang berada di ambang kebangkrutan usaha teaternya. Berbagai hal sudah dia coba, tetapi kejayaan serupa puluhan tahun silam susah digenggam lagi. Suatu ketika dia memiliki ide baru yaitu membuat ajang pencarian bakat dengan iming-iming hadiah. Mirisnya, sang sekretaris melakukan kecerobohan hingga nominal hadiah menjadi seratus kali lipat. Bisa ditebak, meski awalnya sempat panik, Moon tetap meneruskan kompetisi tersebut yang ternyata audisinya sukses merebut atensi seisi kota.

banner Sing 2016 ngepopcom

Desember dipilih Sing sebagai bulan rilis. Sebenarnya keputusan ini bisa mengarah ke dua hal: ingin menyasar keuntungan besar sebab menuju libur akhir tahun; dan/atau berharap supaya dapat nods dari ajang penghargaan yang bergelimangan di musim ini.

Pasca menuntaskan Sing, kok saya jadi ragu, dua hal tersebut teramat ambisius menimbang eksekusi naskah sestandar film ini.

Pertama, Desember turut dihuni oleh para “raksasa” sebut saja Rogue One: A Star Wars Story, Passenger, serta berbagai film kontender musim penghargaan. Kedua, tahun ini menjadi salah satu tahun paling kompetitif di kategori animasi–dengan kuantitas yang sangat banyak dan kualitas variatif. Paling tidak dari penilaian saya, Sing berada di posisi tidak menguntungkan karena posisinya memang berada di region biasa-biasa saja.

Film ini bisa lebih parah lagi hasil akhirnya kalau tidak menjadikan lagu-lagu hits sebagai jualan utama.

Kalau keputusan itu yang diambil, Zootopia bakal menyingkirkannya begitu saja—seting lingkungan yang dijalankan oleh hewan-hewan menjadi fokusnya. Namun dilema juga, sajian musikal ini cuma membuat Sing menarik di sekian menit pembuka dan sekian menit penutup. Di antaranya kehambaran tidak bisa ditutup-tutupi, bahkan penonton nanggung tertawa atas humor “layu sebelum berkembang” yang dilempar.

Apakah Sing sesial itu? Cukup sial memang. Salahkan pada penggarapan naskahnya yang seolah-olah malas mengolah.

Kita bakal mendapati bahwa film ini terlalu sibuk melebarkan materi ke luar lajur utama–kompetisi menyanyi. Jatuhnya seperti kasus variety show di Indonesia, eksploitasi masalah pribadi atau internal keluarga justru yang dibuat paling panjang.

Padahal secara jujur, di awal, film ini memiliki pembuka yang menjanjikan. Apalagi masih dilanjut dengan kemampuan editing transisi dengan lagu yang menarik dan sejumput satire–salah satunya tentang tikus lulusan sekolah musik bergengsi yang susah sukses lalu memilih menjadi musisi jalanan yang tetap terseok-seok.

Ketika Sing memang membawa angin “kesempatan” yang mungkin menjadi takdir para hewan di situ, tidakkah lebih baik kalau memang “kesempatan” inilah yang dihambur-hamburkan?

Begitulah, berbagai lagu catchy–yang katanya sampai berjumlah 80-an–pada akhirnya menjadi satu-satunya verdict stabil positif dari Sing. Meski banyak perkara naik turun kehidupan yang coba diwadahi, tetap saja kesalahan rajut yang dilakukan membuat pola hasil jadinya tidak berkesan.

Sing memperoleh 7.5 dari 10 bintang.

Film Sing (2016) telah ditonton pada 7 Desember 2016, review resmi ditulis pada 14 Desember 2016.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading