Manusia bukanlah variabel yang bisa disirnakan begitu saja.
Sully mengajari kita semua tentang hal itu. Tentang pandangan terbuka pada pendapat manusia dan tidak hanya berpangku di rekayasa mesin. Probalitas terbuka lebar, terkhusus di insiden Hudson, insting pilot dan co-pilot yang berdedikasi bukanlah isapan jempol.
Sully bertutur tentang pendaratan pesawat darurat di Sungai Hudson. Keputusan itu harus diambil karena kedua mesin di baling-balingnya rusak akibat terserang gerombolan burung yang sedang migrasi. Selain itu, Kapten Sully melihat bahwa tidak memungkinkan untuk mendaratkan pesawat di landasan pacu terdekat. Pendek kata, 155 orang yang ada di pesawat selamat. Tetapi rundungan tidak berhenti di situ. Di tengah lautan pujian masyarakat, kapten dan co-pilot masih harus menghadapi serangkaian tuduhan dari otoritas keselamatan penerbangan Amerika.
Di film ini, Clint Eastwood kembali ke rimbanya.
Dari hasil akhir Sully, sangat kentara bagaimana Clint berusaha merangkai berbagai kemungkinan dengan landasan cinta. Dia adalah sosok sutradara yang selalu ingin menampilkan manusia sebagai manusia. Manusia yang punya banyak aspek yang beradu di isi kepala, manusia yang juga sungguh sangat sederhana. Sekali lagi, representasi itu berhasil dipertunjukkan.
Alih-alih mencoba mengeksploitasi pendaratan darurat yang terjadi–Kapten Sully tidak menyebutnya sebagai musibah–film ini justru memperlihatkan aspek yang lebih mendalam: efek.
Jelas saja, implikasinya jadi cukup banyak sudut pandang yang bisa dicerna dalam sekali santap. Penonton diajak untuk melihat bagaimana terharunya para penumpang, cemasnya keluarga Kapten, ngototnya otoritas keselamatan penerbangan, terkaget-kagetnya para saksi pra-pendaratan, respons tanggap dari para aparat penyelamat, bikin merindingnya kinerja para pramugari, hingga pertunjukan dari hasil simulasi.
Melalui berbagai sudut pandang yang dinampakkan tersebut, dampak bagi penonton bisa sangat besar. Sully menjelma menjadi film yang intim. Rasa haru pun kesal tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Apalagi di pembuka, si Kapten yang di luar sana sedang dianggap sebagai pahlawan malah berada di posisi disudutkan.
Sully memperlihatkan bahwa dedikasi adalah perkara pengambilan keputusan.
Dalam waktu 208 detik, dia bisa saja memposisikan para penumpangnya di situasi kacau balau. Tetapi di kokpit, dia–yang nyaris pensiun setelah 42 tahun mengabdi–dan si co-pilot tetap berusaha tampil setenang mungkin. Mengingat pengendalian situasi mengerikan semacam ini belum pernah diajari sebelum-sebelumnya.
Bagian lain yang juga menggembirakan, film ini tidak mau tampil sebagai sajian tear-jerker vulgar. Dengan variasi tindakan di visual, mata penonton bisa tiba-tiba lembab saking heartwarming-nya. Pun kalau mau lebih jauh, di bagian dramatisir, Sully hanya bermain dengan tumpukan suara yang dilatari scorring model humming. Pujian pada Tom Hanks, casting director, departemen visual effect, dan sinematografi, jadi suatu kewajaran. Surreal!
Sully adalah kehangatan.
Kita akan dibuat ikut bersorak ketika kebenaran itu semakin kentara. Kita juga akan semakin dibuat awas dalam memandang suatu kebenaran. Perwujudannya, bahkan mesin canggih yang sudah terprogram pun tidak bisa disebut memproduksi kebenaran mutlak begitu saja.
Bisa jadi akan ada penonton yang kurang antusias dengan film ini, mungkin karena faktor banyaknya percakapan–naskahnya bagus. Atau saya pribadi melihat ada beberapa scene, terutama di bar dan di intensitas keluarga si Kapten, yang kurang sedikit nyawa. Biar pun demikian, hal tersebut tidak bisa menutupi fakta bahwa Sully adalah sebuah karya yang mapan.
Sully mendapatkan 9 dari 10 bintang.
Film Sully (2016) telah ditonton pada 14 September 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.