Thursday, July 25

#SpectacularTen 10 Film Terbaik 2017 (Bagian 2)

Perayaan film terbaik tahun ini kita diberkahi dengan banyaknya aktor-aktris muda yang berhasil “merampok” sinema. Mereka tidak hanya berlakon sebagai pemeran tanpa suara; sebaliknya, justru merekalah yang diberikan corong bicara paling vokal. Sebuah langkah brilian yang dampaknya tak lain dan tak bukan adalah terjadinya regenerasi berkelanjutan.

Seperti Spectacular Ten 2016, daftar terbaik ini turut dipecah ke dalam dua postingan. Bagian pertama tersedia di tersapacom, sedangkan bagian kedua dapat dibaca di Ngepopcom. Yang sedang kamu baca ini adalah bagian kedua. Kalau kamu belum membaca bagian pertama, bisa klik DI SINI.

Tanpa perlu berlama-lama, berikut adalah lima besar Spectacular Ten kategori Film Terbaik hasil kerja sama tersapa dan Ngepop.

#5 Wonder Woman (2017)

Membuat film heroik bersentralkan sosok perempuan tidak pernah mudah untuk dilakukan. Bukan karena tidak mungkin terjadi, tetapi karena formulanya cukup pelik. Apalagi di dunia sinema yang selama ini sudah terlanjur kecanduan dengan standar male-gaze. Untuk memecah mata rantai itu, tentu saja salah satu langkah utama yang harus dilakukan adalah menyerahkan sebagian urusan vitalnya kepada sosok perempuan yang punya visi kuat.

Wonder Woman tidak hanya menyerahkan posisi strategis itu teruntuk satu orang, tetapi dua orang sekaligus: Patty Jenkins di posisi sutradara dan Gal Gadot di posisi protagonisnya. Hasilnya mengesankan. Wonder Woman memberikan energi begitu kuat pada bab encouragement perempuan. (9.5/10)

#4 Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017)

Dalam teks film, salah satu tantangan paling pelik adalah mengawinkan kisah komedi dan drama. Apalagi ini dark comedy. Secara tidak terduga, Three Billboards sukses melakukannya dengan sangat luwes, cak cek. Sejak dari permulaan (ketika kamera menyorot billboards dari berbagai sudut), hingga beranjak ke ping-pong adegan bertempo cepat, film ini memberikan kadar emosi yang tepat. Kita dibuat lepas menertawakan lontaran “tanpa filter” yang bahkan tidak bisa disebut dangkal, di dalamnya tersisip kekalutan yang sukar diurai–hingga akhirnya oleh mereka sendiri dianggap sebagai guyonan reguler, mencoba berdamai dengan keadaan. Setiap karakter yang disajikan memiliki background story yang tersingkap perlahan satu demi satu dan susah untuk kita abaikan begitu saja. Hingga di penghujung, kita refleks dibuat bertanya-tanya: mungkin memang bukan kepastian yang selama ini dicari oleh manusia. (9.5/10)

#3 Call Me by Your Name (2017)

Sangat mudah melabeli Call Me by Your Name sebagai sebuah karya yang sensual. Dan karena julukan itu memang tidak salah. Namun, kalau mau lebih rileks sedikit, mestinya kita sadar bahwa ini merupakan kisah yang begitu universal: mencari dan menemukan dan saling mencintai (apa pun orientasi seksualnya). Setiap gestur emosi yang ditunjukkan oleh Elio begitu sublim mampu ikut dirasakan oleh penonton. Terlebih ketika kita mesti dilibatkan dalam dua adegan paling emosional di pamungkas durasi: Elio dan ujaran ayahnya; serta Elio di depan tungku perapian. (9.5/10)

#2 I, Tonya (2017)

Prasangka itu racun, apalagi ketika hal itu hadir cuma karena kita mempercayai framing media yang jelas-jelas timpang. I, Tonya adalah film yang sudah selayaknya diperoleh Tonya; lalu, akan lebih bermakna apabila dunia (yang sudah terlanjur berprasangka, lebih-lebih yang tega menyebutnya “white trash”) mau menimbang ulang penghakiman mereka. Sebab, melalui film ini, Tonya adalah karakter yang sangat layak memperoleh simpati tanpa dia harus merengek-rengek kepada penonton; dia hanyalah korban yang berada di situasi yang selalu serba merugikannya. Dan itu tidak mengada-ada, sebab narasinya bermodel interview-based plot, nantinya kita sendiri yang menyimpulkan “pengakuan” mana yang mau disepakati. Dengan penuturan yang sedemikian terbuka dan adil, ini adalah satu dari sedikit film paling “pure” yang pernah saya tonton. (10/10)

#1 Dunkirk (2017)

Nolan lewat Dunkirk-nya berhasil menghadiahi sinema dan dunia dengan film perang yang pendekatannya belum pernah kita saksikan selama ini. Sebuah film yang pekat dengan suspense nonstop tanpa perlu berpenampilan barbar. Di level gagasan, melalui Dunkirk, Nolan seperti berusaha menata ulang mindset kita tentang perang. Berapa banyak dari kita yang selama ini ketika dihadapkan pada istilah “perang” selalu terkungkung dalam opsi sempit: menang atau kalah?

Di penghujung, ketika nama Christopher Nolan akhirnya muncul di layar hitam, menandakan credit yang mulai bergulir, perasaan saya mencelos. Saya hanya ingin duduk diam bersandar lama di kursi-tepuk tangan-tatapan mata tetap ke layar-sambil mendengarkan scoring yang kini bertempo pelan; tidak mau ngobrol dengan kanan-kiri, tidak berminat mainan hp. Sensasi tak terdefinisi inilah yang membuat saya begitu hormat kepada film Dunkirk, sejarahnya, dan setiap nama yang telah ikut terlibat dalam proses panjang pembuatannya. (10/10)

 

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading