Melanjutkan rangkaian catatan menuju verdict akhir tahun 2016, lagi-lagi Hollywood memulai tren. Menginisiasi penceritaan yang mengesampingkan ego dan akhirnya menaikkan kasta sajian televisi ke level yang terlampau tinggi.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa bercerita bukanlah tentang prestise medium yang dipilih. Namun harus berpegangan pada aspek: apakah ini butuh penjelasan panjang atau cukup dengan pemadatan?
The People v. OJ Simpson: American Crime Story berhasil menikam penontonnya–termasuk saya–sangat dalam.
Singkirkan dulu prasangka siapa yang benar siapa yang salah. Ini adalah serial yang mampu menyiksa saya secara perlahan-lahan.
Bayangkan, bahkan di momen penjelang pamungkas season finale-nya, penonton tidak dibiarkan berlega barang sejenak. Dugaan saya, dengan sisa kurang dari delapan menit counter apa lagi yang mungkin terjadi? Pun karena serial ini selalu disiram oleh ramuan counter di setiap episode-nya. Tangan saya sampai dibuat dingin dan jantung dibuat berdebar sangat kencang, layaknya peserta lomba yang sedang menunggu jatah tampil dengan harap-harap cemas.
Pengisahan yang universal
Ada dua tipe pencerita di dunia ini: yang bisa bertutur dengan baik dan yang tidak bisa menyambungkan tongkat estafet kisah kepada komunikannya.
Tentu saja kita akan dibuat sepakat bahwa tipe pencerita yang baik adalah yang disenangi. Namun, tipe yang baik pun masih terbagi menjadi dua: yang maunya menceritakan dengan runtut dan yang lebih lancar berkisah secara melompat-lompat.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Untuk kategori pertama, pendengar akan memperoleh kisah secara komprehensif–dari awal mula sampai epilog–tetapi tentu saja menyimak pencerita semacam ini memerlukan dedikasi dan kesabaran supaya jatuhnya tidak sepotong-sepotong. Sedangkan untuk kategori kedua, pendengar akan memperoleh keseluruhan rangkaian kisah dalam kurun relatif cepat bahkan kadang memperoleh bonus aspek di luar benang utama, tetapi model semacam ini seringkali kurang komprehensif.
Mana yang lebih baik? Dua-duanya baik, sebab pada intinya ini adalah masalah selera.
Saya sendiri termasuk tipe kedua–penutur unlinear. Maka, dalam kasus sebagai penonton ACS musim pertama, saya sukses dibuat berdecak kagum oleh sajian yang mampu bertutur seruntut dan sesabar ini.
Fox melalui ACS mampu memberikan sebuah struktur naskah superior. Naskah yang melahirkan sebuah drama audio-visual based on novel–yang juga based on true story–di level gila.
Mengapa serial ini bisa meledak? Asumsi terkuat dari saya pribadi: ACS berkisah secara universal. Meskipun memiliki kompleksitas kelas kakap dengan rentetan kejadian seolah tak ada putusnya, ACS bisa tampil tanpa terasa menggurui sedikit pun. Atensi penonton akan dengan sangat mudah dibolak-balikkan dalam rangka menuju final-act-nya.
Kabar baiknya lagi: ACS berjalan mendampingi mereka yang belum mengetahui/kurang mengikuti kasus yang melibatkan OJ Simpson dan sistem hukum di Amerika ini. Dimulai dari nol; lalu ikut lelah mengikuti proses yang ada; kemudian terpaksa memilih pihak mana yang mau dijagokan setelah kenyang oleh kesaksian dalam rangkaian persidangan; hingga menyadari bahwa di akhir, keyakinan kita juga tidak bisa 100 persen.
Kualitas itu nyata adanya
Terlepas dari opsi terbuka yang memperbolehkan penonton menentukan prasangka, ACS sebagai serial TV merupakan cerminan praktik hukum di berbagai belahan dunia. Bahwa di balik institusi sebesar apa pun, ada terlalu banyak variabel yang terlibat. Dan tentu saja, ada banyak cara bercerita yang bisa dipilih untuk membuat orang lain yakin terhadap versi yang kita sodorkan.
Alasannya pun terus menerus diulang oleh serial ini: semua orang menyukai cerita.
Keterlibatan emosi penonton yang padahal terpisah oleh layar kaca pun menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik. Bagaimana bisa sebuah tayangan mampu mengajari secara detail tentang perkara hukum–yang teramat kompleks–melalui ilustrasi tindakan langsung sekaligus dibuat terikat oleh rangkaian visual pun musik latar?
ACS adalah contoh nyata bahwa sebuah serial TV mampu memecah belah keputusan penonton untuk membenci salah satu pihak.
Semuanya menjadi sangat riil pun meyakinkan. Hal ini merusak tatanan yang selama ini telah kita pelajari dari layar kaca di Indonesia–yang menempatkan semuanya di nampan baik-buruk tanpa mau repot-repot ditambahi tumpukan layer alternatif.
Supaya tulisan ini layak dinamai catatan, saya akan menutup dengan beberapa poin jaminan mengapa kamu mesti memasukkan ACS ke bucket-list tontonan. Pertama, tanya adalah tindakan positif, serial ini akan memaksa penonton terus bertanya-tanya sekaligus menerka-nerka–bahkan bagi entitas yang jarang bertanya sekali pun.
Kedua, assemble casts di ACS ini sungguh tidak terbayangkan bisa terwujud, chemistry dan emosi yang dihasilkan nampak mustahil! Ketiga, manjakan mata, telinga, dan otak, mulai dari episode perdana hingga pamungkas–jumlahnya sepuluh episode.
Keempat dan terakhir, kalau kamu ikut merasa capek, stres, dan frustasi ketika mengikuti The People v. OJ Simpson: American Crime Story, kamu tidak sendirian!
Musim pertama The People v. OJ Simpson: American Crime Story layak diganjar 10 dari 10 bintang.
Ralat formula skala 5: di gambar tertera "...)+2" yang benar adalah "...)+2,5"