Thursday, July 25

Review Film | “Batman v Superman: Dawn of Justice” Blueprint DCEU di Jalan yang Tepat

Batman v Superman adalah kawah candradimuka dalam modifikasi makna. Bagi yang menyukainya, akan memujanya. Bagi yang tidak suka, bakal membencinya. Saya, tanpa malu, berada di golongan pertama. Mari kita pahami perspektif masing-masing sebelum saling lempar hujatan.

(Break–sebelum menonton, beberapa menit pasca review pers mulai boleh dirilis)

Baru juga 2016 jalan tiga bulan, namun gempuran rasa sesak serupa sudah dua kali melanda batin saya: pertama, kans Spotlight yang di detik-detik terakhir didiskreditkan oleh mayoritas prediksi kritikus buat memenangkan Best Picture Oscars; kedua, review awal para kritikus luar yang mendiskreditkan Batman v Superman menjelang perilisannya. Saya kemudian otomatis langsung berspekulasi tentang anomali poin kedua ini. Mengingat, saya sebelumnya juga sudah pernah berada di posisi serupa–ketika saya dan supporter Spotlight berada di posisi minor. Menjelang menyaksikan BvS, titik tolak saya mirip sebelumnya: para kritikus itu bakal melakukan kesalahan serupa, mereka terlalu angkuh, saya teguh dan akan buktikan itu.

Mungkin bias subjektivitas saya sebelum menonton BvS cukup besar. Toh, review itu memang gudang subjektivitas. Namun begitu, alasan saya menyangsikan sesuatu selalu berdasar. Sebab, beberapa waktu sebelumnya bukan hanya Spotlight yang didiskreditkan di detik-detik terakhir, Danish Girl sebelum menjadi sorotan Oscars pun sempat bernasib serupa–metacritic nyaris jeblok. Apakah para kritikus pesimis itu benar-benar dibutakan atau malah saya yang alpha karena sudah terlalu bias sejak awal? Mari buktikan.

(Break–habis menonton, menemukan pembuktian)

Sebias-biasnya, saya masih bisa menilai mana karya yang layak memperoleh apresiasi dan mana yang perlu panen hujatan. Verdict tidak bisa berbohong.

(Break–mulai menulis review)

Salah kalau ada orang yang berujar, “Semua plot BvS sudah ada di trailer, ga perlu nonton, ah!” Bahkan segamblang apa pun trailer BvS–termasuk trailer kedua, yang paling banyak mendapat sentimen negatif karena dianggap sebagai mega-spoiler–film ini masih menyimpan balutan kejutan berlapis-lapis.

Batman v Superman: Dawn of Justice berkisah tentang perbedaan sudut pandang antara dua tokoh utama, Batman dan Superman, yang mengarah pada kesalahpahaman. Dengan latar belakang kehidupan yang berbeda, jurang pemisah keduanya semakin kentara. Lex Luthor memanfaatkan kelicikannya buat menghasut mereka. Di bagian lain, dia pun merancang rencana lain yang lebih mengerikan.

Apabila di-zoom out, naskah BvS akan nampak dipenuhi oleh jaring-jaring underground kepentingan politik dan filosofi. Jaring-jaring tersebut memegang peran krusial dalam menciptakan dan menjaga keterhubungan antar sequence. Inilah yang membedakan ranah Marvel dan DC–bahkan nuansa politik Iron Man sekali pun tidak sepekat ini. Atas dasar inilah maka proyek ambisius DC di layar lebar–dimulai oleh Man of Steel–menjadi sajian yang dinantikan. Opsinya cuma ada dua: berhasil menyampaikannya atau gagal tersungkur.

Saya melihat BvS sebagai sebuah film yang sukses menerjemahkan fondasi itu ke dalam naskah dan kemudian audio-visual. Plot film ini benar-benar sistematis dan rapat. Di awal memang penonton seolah disuguhi keping puzzle secara acak, namun sebenarnya itu tidak acak sama-sekali. Ketika durasi terus bergulir, penonton akan sadar bahwa film ini menuntun secara perlahan sambil terus melengkapi susunan puzzle yang tetap diproduksi.

Maka efek sampingnya adalah akan ada penonton yang tetap sabar mengikutinya dengan penasaran; atau malah sebaliknya, sudah keburu kesal–durasi dua setengah jam. Bagi golongan pertama, BvS bakal langsung memberikan kado sequence spesial mulai di pertengahan durasi–yang sangat menyegarkan mata, telinga, dan otak. Namun, golongan kedua sangat mungkin akan langsung menarik kesimpulan bahwa filmnya buruk, sugestinya bisa terus berjalan begitu sampai penghujung durasi.

Mengatakan bahwa naskah BvS buruk adalah sebuah penghinaan. Sebab, di dalam plot antara Batman dan Superman pengisahannya terdistribusi secara rapi pun adil progresif dan sesekali flashback. Tengok bagaimana film ini menjalin koneksi dengan para karakter di rencana franchise film setelahnya (Justice League, The Flash, Wonder Woman, Aquaman, Cyborg), amati pula visual masa lalu dan ketakutan-ketakutan Bruce yang mendasari semua bentuk tindakan yang dilakukannya, lihat Superman yang seolah dangkal namun sebenarnya menyimpan kedalaman batin tersendiri, amati Lex Luthor dengan segala intimidasi perawakannya, pun lihat bagaimana film ini membuat keterlibatan Wonder Woman masuk akal, tidak dipaksakan.

Cek juga sosok Batman dan Superman yang bisa menciptakan suasana emosionalnya sendiri-sendiri. Formula penceritaannya pun lumayan tidak umum untuk film superhero. Cuplikan saja, Superman di awal digambarkan sebagai sosok yang dipuja-puji habis-habisan, namun menjelang akhir dia mengalami berbagai gempuran kejatuhan oleh kerumunan yang sebelumnya melambungkannya.

Di lini lain, jajaran cast-nya adalah keajaiban. Ben Affleck sangat cocok mengisi kursi Bruce Wayne–baik secara fisik (pertarungannya juara) maupun intelektual–, Henry Cavill menunjukkan upgrade kualitas yang signifikan dibanding MoS–tandai sequence ketika film ini memperlihatkan sosok Superman yang sangat didambakan oleh orang-orang–, Gal Gadot mencuri perhatian dengan rasio durasi yang pendek, pun Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor sudah nampak mengerikan sejak awal kemunculannya. Departemen akting telah melaksanakan tugas dengan sangat baik–termasuk para supporting role.

Usaha ekstra keras Zack Snyder dan kawan-kawan dalam membuat blueprint kebangkitan DC Comics di layar lebar, hingga antar karakterya bisa saling dipertemukan, pantas diganjar ucapan terima kasih tak terhingga. Apalagi dengungan score emosional dari tangan Zimmer dan Junkie XL lengkap dengan visual (efek dan sinematografi action-packed) yang stunning. Zack telah berhasil menciptakan aura khas yang akan terus menempel pada film-film DC–selain karena jasa Nolan juga. Sosok superhero yang real mestinya ya seperti ini–tetap memiliki banyak probabilitas di luar dugaan namun juga tetap manusiawi–!

Di BvS ini sesungguhnya saya masih mengharapkan lebih banyak porsi tentang masa lalu Bruce–terlepas dari sudah adanya The Dark Knight dan serial Gotham, kali ini saatnya interpretasi versi Zack–supaya jalinan plot emosionalnya semakin erat. Toh Superman sebelumnya sudah memperoleh jatah mayor di film tunggalnya, Man of Steel–beda kasus tentang rencana film tunggal Batman (Ben Affleck) pasca 2020. Kalau beberapa pritilan adegan bisa lebih diperpanjang penjelasannya, saya melihat bahwa BvS berpotensi tampil ultra bold.

Sampai di kesimpulan ini, saya sungguh kehilangan pemahaman nalar: mengapa setelah setiap pasang bola mata diberi sebuah sajian yang memanjakan, setelah setiap pasang kuping diagung-agungkan, pun setelah setiap otak diberi nutrisi pengisahan yang melapangkan, justru mayoritas yang mulia penghuni metacritic dan Rottentomatoes melakukan black campaign berjamaah?

tersapa.com memberikan 9.5 dari 10 bintang.

(Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) telah ditonton 23 Maret 2016, review resmi tersapa ditulis di hari yang sama)

Saya baru kali pertama menulis review dengan model seperti ini, memang terbaca lebih personal, namun standar penilainnya tetap sama–saya melihat dari kaca mata penilai. Kegamangan saya terhadap anomali (para) kritikus v user(s) ini coba akan saya tuliskan di esai terpisah.


Review ini sebelumnya dimuat di tersapacom dan telah dibaca lebih dari 800 kali.

2 Comments

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading