Thursday, July 25

Review Film | “Captain America: Civil War (2016)” Mengagumi Russo Bersaudara, Spider-Man, dan Black Panther

Captain America: Winter Soldier dan Captain America: Civil War adalah dua film terbaik sepanjang Marvel Cinematic Universe (MCU) per 2016.

MCU juga sangat diuntungkan karena telah lebih dulu mengenal Anthony Russo dan Joe Russo. Duo bersaudara brilian yang kembali didapuk sebagai sutradara setelah sebelumnya juga sempat mengomandoi Captain America: Winter Soldier. Kalau mau lebih jujur lagi, dua installment terakhir Captain America merupakan capaian tertinggi MCU selama hampir sedekade ini.

Civil War berkisah tentang kegamangan Avengers pasca berbagai tindakan “heroik” mereka di berbagai kota yang meskipun berhasil menumpas musuh namun menyisakan banyak penderitaan, kerusakan, dan kehilangan. PBB menggalang dukungan dan berupaya mengendalikan Avengers lewat perjanjian yang disodorkan–dengan dibantu pemerintah Amerika Serikat. Mulai dari situ, mereka terpecah menjadi dua kubu: yang setuju untuk menandatangani perjanjian (dipimpin Iron Man) dan yang menolak (dipimpin Captain America). Terjadilah kesalahpahaman beruntun setelahnya, lengkap dengan beberapa percikan masa lalu yang juga naik ke permukaan.

Verdict terkuat yang saya tulis untuk Captain America: Civil War ada di departemen pengarahannya. Itulah mengapa salah satu elemen yang saya pakai di judul mengandung: Russo Bersaudara. Keberadaan keduanya adalah keajaiban sepanjang durasi. Di tangan orang lain, meng-handle sekian banyak superhero di satu layar bisa menjadi sebuah kesalahan fatal. Masing-masing superhero jelas memiliki treatment sendiri-sendiri, ego masing-masing pun bisa sangat besar, belum lagi tentang urusan durasi–mungkinkah superhero sebanyak itu diberi jatah tampil yang adil buat masing-masing. Jangan salah, terkait dengan jumlah karakter, Civil War bahkan menang telak dibanding dua film The Avengers. Banyak banget!

Namun, Russo Bersaudara mampu menangani semua itu. Tidak hanya dengan baik. Namun sudah di level sangat baik.

Bahkan, superhero baru yang belum memiliki film tunggal macam Spider-Man dan Black Panther justru diberikan porsi jumbo. Saya sampai sangsi, alih-alih konsekuen dengan embel-embel Captain America, karisma sang Kapten justru dilematis karena dengan sangat mudah ditutupi oleh sosok lain–terutama dua karakter baru tersebut. Black Panther muncul sebagai sosok yang garang, Boseman sukses memerankan karakter yang banyak dinanti-nantikan para penggemar komik Marvel ini. Bahkan, kemunculan perdananya mampu memberikan intensitas intimidasi yang cukup tinggi. Rasanya tiap kali kemunculannya adalah ancaman bersama–apalagi dengan pengaruh dan kekuatannya.

Dan, Spider-Man adalah pencuri layar yang sebenarnya! Tom Holland sangat sukses menampilkan sosok Peter Parker yang telah diimpikan sejak lama. Cerdas, polos, dan nyenengin. Cara tuturnya masih sangat bocah, jujur-lugu. Tiap kali kemunculannya sukses mengundang tawa saya untuk keluar. Dibandingkan dengan sosok live-action Spider-Man selama ini, saya dengan percaya diri menyatakan bahwa Tom adalah Spider-Man terbaik! Agaknya saya belum pernah se-excited ini menantikan film baru tentang Spider-Man–film tunggalnya bakal hadir tahun depan.

Karakter lainnya: Black Widow dan Hawkeye hadir dengan bold–dibandingkan dengan peran mereka di film-film sebelumnya yang selalu menjadi less-favorite bagi saya–; Iron Man menunjukkan sisinya yang lain, yang lebih sentimental dan rapuh–sangat jarang melihatnya seperti ini, RDJ akhirnya kembali menunjukkan kualitas aktingnya pasca kendor beberapa tahun belakangan–; Captain America di sini tidak sebrilian di Winter Soldier, namun tiap kemunculannya adalah momen yang paling ditunggu-tunggu; sosok Bucky hadir dengan lebih mengoyak emosi, scene setia kawan bersama Captain America selalu menghasilkan nestapa; Ant-Man, gila, penuh twist dan guyonan tak terucapkan, bahkan dia di sini dia lebih lucu dibandingkan ketika berada di film tunggalnya; Vision pun hadir dengan sangat lawak, saya merasa janggal mengamati perwatakan Vision di sini; saya belum pernah melihat Falcon seprima ini, pun Rhodey–yang juga menampilkan kemampuan emosionalnya; jangan lupakan Wanda, porsinya di sini cukup banyak, pun didukung performa yang solid–sisi rapuhnya juara.

Sekarang maklum, kan, mengapa saya memilih terma “mengagumi Russo Bersaudara”?

Layaknya film superhero, film ini tampil eksplosif tanpa jeda sejak awal. Departemen editing (Jeffrey Ford dan Matthew Schmidt) terlihat sangat meyakinkan di sini–apalagi dengan banyaknya lokasi yang digunakan–, toh mereka juga sudah beberapa kali menangani film-film Marvel sehingga sudah paham formulanya. Yang lumayan membedakan, di sini mereka berani lebih “padat”–tone warnanya ikut menyukseskan langkah ini.

Oh, dan yang perlu memperoleh highlight juga adalah humor Civil War tergolong humor kontekstual. Pertimbangan komentar ini, sebab saya sempat dibuat kecewa oleh humor Deadpool yang sangat cetek. Coba bandingkan sendiri, akan benar-benar nampak mengapa saya bisa menyatakan demikian. Captain America: Civil War pada akhirnya tampil lebih “Avenger” dibanding dua film The Avengers yang sudah ada. Implikasinya, kehadiran Captain America jadi tidaklah signifikan, rasanya lebih cocok dijuluki Avengers: Civil War.

Jangan lupakan scene mid-credit dan after-credit, sangat menarik!

tersapa memberikan 9.5 dari 10 bintang.

Film Captain America: Civil War (2016) telah ditonton 27 April 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.


Review ini sebelumnya telah tayang di tersapa.com sebelum dipindah ke ngepop.com, dan telah dibaca lebih dari 900 kali

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading