Thursday, July 25

Review Film | “The Jungle Book (2016)” Proses Pendewasaan yang Sewajarnya

The Jungle Book adalah gong paling kentara di jajaran film pengisi slot live-action Disney sejauh ini.

Tidak terbayang sebelumnya bahwa pengisahan sesederhana Jungle Book bisa tampil “sepenting” ini. Film ini mengemas tema besar tentang keseimbangan alam dengan cara cukup berani. Yang di sini, Mowgli menjadi anomali di antara para penghuni rerimbaan.

The Jungle Book versi live-action berpegang teguh pada naskah aslinya yang lebih dulu diadaptasi ke bentuk animasi. Jadi sudah bisa ditebak bahwa film ini masih mengikuti Mowgli, seorang bocah yang ditemukan oleh macan kumbang (Bagheera) pasca bapaknya dibunuh oleh Shere Khan, seekor macan. Dia kemudian dibawa oleh Bagheera ke komunitas serigala untuk dipelihara. Namun ternyata prosesnya tidak sesederhana itu, ketika anak-anak serigala sudah tumbuh besar, Mowgli masih tumbuh secara pelan-pelan. Hingga suatu waktu, Shere Khan ingin memangsa Mowgli. Pertumpahan darah pun berpotensi untuk kembali terjadi.

Sebagai film–yang saya anggap masih menyasar anak-anak sebagai target audience–The Jungle Book sungguh jujur. Jon Favreau sebagai sutradara tidak berusaha “menjinakkan” tone di filmnya. Apa yang tersaji di layar lebar adalah berbagai kejadian yang sangat mungkin terjadi di kerasnya kehidupan hutan.

Di lain hal, film ini juga menunjukkan kepada penonton tentang ragam pembelajaran tanpa nampak sok tahu. Alih-alih menuturkan berbagai petuah secara klasik, film ini lebih suka memperlihatkan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul dari sebuah tindakan secara langsung. Kalau mau lebih sembrono juga, The Jungle Book bahkan menunjukkan kepada penonton untuk menjadi entitas yang berani jujur. Berani jujur dalam artian sebenarnya. Ketika tidak suka dengan orang lain atau hal lain atau sifat orang lain, semuanya harus diujarkan di depannya langsung–dengan syarat memang lawan bicaranya sudah bisa berpikir. Atas berbagai perlakuan itu, pada perjalanannya Mowgli nampak sebagai protagonis yang “kaya” dari aspek emosional.

Karena konsekuensi pulalah sehingga masing-masing hewan yang memperoleh porsi durasi lebih, mampu ditampilkan dengan alasan-alasan kuat–dan anehnya bisa membuat penonton percaya. Misalnya ketika koloni gajah dijadikan hewan yang sangat dihormati karena dianggap telah memberikan kehidupan lewat sungai-sungai yang dibuat dengan gadingnya; atau “propaganda” para serigala yang pada akhirnya bisa dipahami bersama mengapa berbunyi seperti itu–tidak saya tuliskan di sini; pun kemunculan beruang dan kelompok kera yang citranya sangat sukses digambarkan. The Jungle Book bukanlah film yang egois, film ini tidak hanya berkutat pada Mowgli.

Pun film ini kembali menyadarkan bahwa posisi manusia di banyak potensi tindakan haruslah ditinjau ulang sekian kali. Utamanya ketika ada tindakan yang memungkinkan munculnya implikasi bagi makhluk hidup lain. Di film ini ditunjukkan bahwa yang membuat manusia dan hewan derajatnya berbeda sebenarnya cuma satu, akal yang memunculkan kuasa. Perumpamaannya, manusia dianggap posisinya paling di atas karena bisa menciptakan “bunga merah” alias api, sesuatu yang merupakan bencana besar bagi makhluk lainnya. Namun demikian, terkadang di beberapa bagian saya cukup menyayangkan kenapa proses komunikasi antarkarakternya selalu menggunakan bahasa Inggris. Ya, ketika kembali ke pertimbangan audiens, hal itu menjadi wajar. Tapi saya melihat karena film ini sudah berusaha tampil se-real mungking, penggunaan bahasa baru–misalnya bahasa hewan–bakal membuat verdict-nya semakin komplit dan menarik.

Pada akhirnya, film ini semakin membangkitkan kepercayaan saya pada Disney. Bahwa mereka adalah studio film yang masih punya “hati” dan tidak cuma mencoba mengeruk uang penonton. Highlight paling luarbiasa tentu berada di pangkuan departemen efek visual. Menakjubkan dan mengerikan di saat yang bersamaan. Oh, jangan lupakan juga senandung yang terdengar janggal tapi lucu dari mulut para hewan-hewannya. Salut dengan para cast, baik Neel Sethi sebagai Mowgli si manusia, hingga aktor pun aktris papan atas (Ben Kingsley, Lupita Nyong’o, Bill Muray, Idris Elba, bahkan Scarlett Johansson) sebagai pengisi suara para hewan yang sungguh hidup.

tersapa memberikan 8.5 dari 10 bintang.

Film The Jungle Book (2016) telah ditonton pada 22 April 2016, review resminya ditulis pada 26 April 2016.


Review ini sebelumnya telah tayang di tersapa.com sebelum dipindah ke ngepop.com, dan telah dibaca lebih dari 1200 kali

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading