Wednesday, July 24

Review Film Indonesia | “Galih dan Ratna (2017)” Menyenangkan Meski Kontradiktif

Apalah film percintaan remaja tanpa adanya perjumpaan semanis kembang gula.

Lucky Kuswandi melalui hasil interpretasi modern atas Gita Cinta dari SMA berjuluk Galih & Ratna berhasil menyajikannya. Meski begitu, pergulatan batin film ini justru terletak pada kontradiksi relasi internal-eksternal narasinya.

Film ini berkecimpung di kehidupan satu laki-laki bernama Galih dan seorang perempuan yang biasa dipanggil Ratna. Keduanya bertemu di SMA. Yang cukup menjadi pembeda, justru sorotan dinamika perjalanan mereka bergerak di luar sekolah. Sebabnya, keluarga Galih memiliki sebuah toko kaset tua yang oleh ibunya berusaha dijual, sedangkan Galih mati-matian mempertahankannya. Mencoba menangkap tren “hipster” era sekarang, pertemuan Galih dengan Ratna seolah melahirkan kembali popularitas mixtape. Berbeda dengan isi kaset-campur yang bisa diatur sedemikian rupa, perjalanan keduanya tak lepas dari ketidakpastian semesta.

Sejujurnya, saya mulai berada di posisi jenuh menyaksikan film yang menggunakan formula pembuka serupa Galih & Ratna: dua orang tua yang tiba-tiba bertemu di suatu tempat, kemudian melenggang bersama dan layar langsung beralih ke masa muda. Sudah terlalu sering situasi serupa tersebut didaurulang. Tidak sekadar subjektif, sejujurnya kejengahan saya berlandasan; karena model sekuens pembuka macam itu seringkali kurang berhasil menghadirkan bekasan emosional. Malahan memproduksi kesan “loncat”.

Kurang nendangnya awalan itu masih pula ditambah dengan adegan klise selanjutnya yang menampilkan Ratna yang diantar oleh ayahnya ke rumah si Tante. Perlu dipahami bahwa sebenarnya adegan ini ditujukan untuk membangun fondasi bagi penonton supaya menyadari adanya gap (celah) hubungan antara Ratna dan Ayahnya (yang tidak simpatik). Sayangnya, karena olah interaksinya terlalu ditahan-tahan, yang tercipta justru kebingungan tanpa kesan berarti di pihak penonton.

Masih berbicara tentang naskahnya, film ini baru menemukan nyawanya setelah kedua tokoh utama dipertemukan.

Saya sebagai orang yang dulu sempat sangat akrab dengan kaset pita dan perekamannya, bisa dengan mudah merasakan atmosfer nostalgia yang cukup menarik di tahap ini. Apalagi di sini ditunjukkan sekian detail (lewat Galih) yang kemungkinan bakal lumayan powerful ketika ditonton oleh orang yang punya pengalaman/pemahaman serupa di masa silam (misalnya tentang istilah “di-protect” terkait perekaman kaset pita).

Di luar “objek” kaset, agaknya Galih & Ratna pun terobsesi untuk sebanyak mungkin memasukkan ragam memorabilia era sekarang.

Anggap saja sebagai pengimbang mixtape. Naasnya, cuma sedikit yang benar-benar tepat guna. Kelemahan disumbang oleh momen meragukan nan janggal yang melibatkan voucher diskon, kondisi kemiskinan, beasiswa, pembajakan, passion, dan istilah “antimainstream”.

Padahal, kalau mau lebih sabar lagi dalam eksplorasinya, tiga poin terakhir (pembajakan, passion, dan antimainstream) bisa tampil representatif.

Sayangnya, presentasi ketiganya terlalu mencolok (blatant) sehingga malah menimbulkan kontradiksi. Kotradiksi yang condong ke arah menggurui dan cukup sulit memperoleh aklamasi pembenaran dari generasi sekarang.

Meski tarik ulur hubungan Galih dan Ratna berjalan menarik, hal itu tidak terlalu konsekuen dengan hubungan dengan elemen lain. Misalnya dengan toko kaset milik keluarga Galih. Semula, terlihat gestur dari film ini yang coba mempersonifikasikannya, tetapi ternyata “ikatan batin”-nya begitu saja luruh di sepertiga akhir durasi—tanpa ada perlawanan ketika toko kolaps. Keraguan tentang adanya “keterikatan” ini semakin menjadi karena seolah tidak ada rasa memiliki dari teman-teman Galih dan Ratna atas toko yang telah berjasa terhadap jalinan romansa mereka.

Syukurlah film ini memiliki Refal Hady dan Sheryl Sheinafia yang mampu menampilkan chemistry menyenangkan.

Hubungan keduanya berhasil mencapai titik “sweet” meskipun belum sampai ke level “goals”—merujuk kebiasaan anak zaman sekarang. Plus, Marissa Anita sebagai Tante-nya Ratna sanggup menyumbang salah satu momen terbaik di film ini. Dipandu oleh bidikan lensa kamera yang intim dan mayoritas efektif, serta pemilihan lagu-lagu yang keren; aspek teknis ini cukup mampu menambal kegamangan atas bagian-bagian lain.

Galih & Ratna lebih cocok disebut sebagai drama “buatan”—staged. Menyebutnya sebagai film yang nyambung dengan keseharian saat ini agak sukar dilakukan.

Terlepas dari beragam catatan yang hadir selama menontonnya, kita (dan tentu saja saya) pun mesti wawas diri. Bahwa ketika sebuah film remaja masih mampu menguarkan kesan “menyenangkan”, artinya dia masih layak dikatakan sebagai sajian yang berhasil.

Galih & Ratna memperoleh 8 dari 10 bintang.

1 Comment

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading