Saturday, April 20

Review Film | “La La Land (2016)” Los Angeles dan Balon-Balon Asa

Berbekal tumpukan asa dan segepok attitude, La La Land punya paket lengkap untuk disebut sebagai film motivasi. Perpaduan apik antara jazz dan dunia seni itu sendiri.

Mengawali perjalanan berdurasi dua jam lebih sedikit, penonton disambut oleh visual kemacetan di Los Angeles (LA). Di sini pulalah awal pertemuan Mia dan Sebastian terjadi, meski impresinya kurang mengenakkan. Mia adalah seorang perempuan yang ingin mengejar mimpinya sebagai seorang aktris. Sedangkan Sebastian adalah seorang pianis jazz kaki lima yang beraspirasi memiliki kelab sendiri supaya bisa menghidupi musik yang dicintainya. Selanjutnya mereka berdua secara tidak terduga selalu kembali dipertemukan oleh semesta. Pertemuan-pertemuan yang efektif memompa stamina keyakinan diri untuk terus bekerja keras menebus cita-cita.

La La Land memiliki dua postulat–asumsi dasar yang sudah pasti kebenarannya.

Pertama, film ini adalah surat cinta untuk LA, Hollywood untuk lebih spesifik. Layaknya wujud surat cinta, La La Land merupakan percampuran antara rasa kagum dan kekhawatiran. Sebagai sebuah persona, Hollywood adalah taman mimpi bagi setiap orang, idaman. Namun begitu, perasaan khawatir “bagaimana kalau” tentang banyak hal pun tetap tersirat.

Postulat kedua, ini adalah film musikal. Meskipun kebenarannya sudah jelas, sang sutradara, Damien Chazelle, di salah satu wawancara masih mau beritikad baik dengan memberikan pernyataan menguatkan yang kurang lebih berbunyi: ini adalah film musikal, tidak ada cara lain yang lebih bijak kecuali dengan memperkenalkan bahwa ini musikal sejak awal. Dan memang benar, di awal durasi penonton langsung disuguhi penampilan musikal dari para pengendara mobil yang terjebak macet di Judge Harry Pregerson Interchange. Penampilan mengesankan dan asyik yang sukses menaikkan mood penonton supaya terus mau mengekor tutur penceritaannya.

This is a real art! La La Land tidak hanya tampil cantik melalui susunan elemen visual statisnya, tetapi ragam interaksi dinamis tokoh utamanya juga sangat berperan menyumbang keabsahan verdict tersebut.

Dalam rangkuman singkat, paling tidak pihak-pihak yang mesti saya beri pujian antara lain: production design, tanpamu keajaiban La La Land akan hambar, setiap sudut properti mampu tampil cantik, presisi, dan “ngomong”; soundtrack dan scoring, salam hormat kepada Justin Hurwitz, kebetulan saya lebih dulu mendengarkan album soundtrack-nya sebelum akhirnya menonton, sebagai sebuah karya audial terpisah, rangkaian track-nya menyenangkan, apalagi kemudian dilengkapi dengan visual, magis!; departemen visual, sinematografinya juara, saya sampai lupa kapan terakhir menyaksikan film dengan formula sinematografi sesimetris ini, apalagi ditambah permainan highlight cahaya karakter di banyak bagian, kontras warnamu menawan; dan editing, tribute La La Land untuk kaleidoskop perjalanan panjang industri hiburan Hollywood bakal tidak berbentuk kalau bukan karena departemen ini, ikonik.

Dan apalah La La Land kalau bukan karena dua tokoh utamanya, Mia oleh Emma Stone serta Sebastian oleh Ryan Gosling.

Chemistry keduanya adalah modal terbesar karya ini. Lebih-lebih Stone dengan mimik wajahnya yang luar-biasa. Seolah tidak mau sekadar formalitas, film ini sering melakukan close-up untuk memperlihatkan bahwa kemampuan Stone dengan transformasi raut mukanya memang ajaib.

Untuk Gosling, meskipun di sini bukan penampilan terbaiknya, dia masih mampu memberikan usaha maksimal. Paling tidak kita masih akan terngiang-ngiang oleh berbagai gesture lucunya—geleng-geleng kepala, dan sebagainya. Jangan heran kalau kamu merasa bahwa film ini socially conflict-less, sebab fokus sudah diserap dengan sangat kuat oleh dua karakter utamanya–cukup inner conflict.

Lewat kolaborasi teknikal dan peran yang solid, jelas La La Land jadi pengalaman sinematik terbaik buat 2016.

Cukup memaafkan naskahnya yang sebenarnya tampil tidak sepadat dan serapi Whiplash–inilah salah satu faktor minor yang membuat saya akhirnya tidak memberikan nilai sempurna. Namun, secara substansi film ini memang mampu merangkum lebih banyak ironi tentang kondisi hiruk-pikuk Hollywood saat ini.

La La Land tentu saja menjadi sajian universal, baik bagi yang sudah sangat ngerti jazz maupun yang tidak tahu sama sekali.

Namun, kalau ditarik lebih jauh, Chazelle semacam membuat film ini terkhusus untuk mereka yang pemula. Formula pengisahannya berbeda dengan Whiplash yang sudah masuk terlalu dalam ke inti jazz—implikasinya, terutama penonton awam, sukses besar dibuat overwhelming. Untuk lebih menegaskan, bahkan ada satu scene yang didedikasikan untuk pengenalan jazz itu sendiri dan bagaimana cara menikmatinya secara sederhana.

Scene itu dipandu langsung oleh pianis jazz kita, Sebastian, ketika berhadapan dengan Mia yang sama sekali buta pada bilah musik ini. Artikulasi bebasnya kurang lebih seperti ini: jazz itu sangat menarik, setiap orang di dalam kelompok pemainnya mencoba mendominasi satu sama lain, mereka mempertunjukkan kemampuan terbaiknya seolah tidak peduli dengan pemain lain, hal inilah yang membuat musik jazz tidak akan terdengar sama setiap hari. Ini adalah salah satu adegan pengenalan terbaik yang selamat dari kesan menggurui.

Melalui suguhan yang disekat oleh tiap-tiap musim, La La Land juga memiliki ruang yang cukup untuk memasok daftar problematika yang ada di lingkungan terdekat mereka.

Amati ketika ada adegan yang merujuk pada bioskop yang memutarkan film-film lama. Gedung-gedung semacam ini hanya berharap supaya masih bisa bertahan hidup, sebab mereka sadar betul bahwa umur bisnisnya sudah di ujung tanduk. Mirisnya, nasib gedung pertunjukan semacam ini terjadi di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia.

Belum lagi ketika film ini mencoba membuka mata tentang kondisi industri musik yang juga menjadi bagian integral dari industri kesenian. Bagian ini saya kira sukses mementahkan berbagai argumen yang selama ini memposisikan satu genre musik jauh lebih bermartabat dari genre lain.

Dari posisi seorang Sebastian, penonton disadarkan bahwa musik pop tidak buruk (yang dijadikan contoh adalah musik pop), yang membuatnya nampak buruk karena orang yang terlibat di dalam group tidak jujur pada dirinya sendiri. Sebastian di sini mencoba meraih mimpinya tetapi dengan melupakan jati diri, bukan karena musiknya buruk, tetapi itu bukan dia (jazz).

Sekarang kamu akan dengan mudah mengikuti mengapa di awal saya sebut film ini sebagai film motivasi. Di durasi selanjutnya terus bergulir pemaknaan hidup lain. Semisal: menyedihkan ketika dirimu menyerah karena merasa mimpimu nampak tidak mungkin diraih atau karena mimpimu justru membuat dirimu nampak konyol. Atau yang lebih menyesakkan: aspirasi itu tentang mengejar dan meraihnya, ketika hal tersebut sudah ada dalam genggaman, aspek emosional (percintaan, dsb) adalah perkara lain—bakal melaju di jalan lain karena di luar jalur awal.

Damien Chazelle lewat Whiplash telah mematok standar film tentang industri hiburan (musik) teramat tinggi. Lewat La La Land, dia berhasil membuktikan bahwa standar itu bisa dijaga dengan teramat baik.

Menonton La La Land itu semacam terbangun di sebuah balon mimpi yang hanya ada hal indah-indah di situ. Los Angeles milik Mia dan Sebastian menjadi terlampau memikat, menunjukkan bahwa bertebaran banyak harapan di berbagai sudutnya.

Film ini memberikan energi luar biasa bagi para penontonnya. Damien Chazelle meng-endorse mimpi dan harapan habis-habisan. Mengejar angan adalah perjalanan paling ajaib yang hanya dimiliki oleh manusia.

La La Land layak diganjar 9.5 dari 10 bintang.

Film La La Land (2016) telah ditonton pada 27 Desember 2016 dan 7 Januari 2016, review resmi ditulis pada 8 dan 9 Januari 2016.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading