Ada selentingan umum berbunyi begini: film paling sulit dibikin adalah yang bergenre komedi. Tidak sepenuhnya salah, dan pada banyak kasus memang terjadi demikian. Namun di Indonesia, kasusnya lain: film paling sulit dibikin adalah yang bergenre biografi.
Athirah masuk ke segolongan “elite” film biografi yang berhasil.
Film ini bisa mengontrol egonya sehingga mampu mengail empati tanpa harus mengemis-ngemis.
Film ini berkisah tetang kehidupan rumah tangga seorang Athirah. Mengambil latar tahun 50-an hingga 60-an di Bone dan Makassar, keluarganya harus mengalami sandungan. Sang suami main mata dan selingkuh dengan wanita lain. Di guliran durasi selanjutnya, film ini menampakkan usaha dan goncangan batin yang dilalui Athirah–serta anak-anaknya terutama Ucu–untuk menyelamatkan biduk rumah tangga.
Athirah memang bukan tipikal film komersil.
Kalau pun secara perolehan finansial film ini bakal berjalan terseok-seok, tetapi secara kualitas Athirah sanggup berkata lain.
Miris sebenarnya: saya menonton Athirah di pertunjukan pukul 16.25 WIB dan di dalam studio hanya ada dua orang–termasuk saya. Padahal, mestinya jadwal sore memiliki kans yang lebih besar untuk dikerubungi penonton. Kalau kenyataan berkata demikian, bagaimana nasib slot pertunjukan awal dan terakhir?
Inilah mengapa saya menyebutkan bahwa genre biografi di Indonesia berada di posisi dilematis tersendiri. Pertama, mayoritas film produksi nasional yang berembel-embel biografi selalu bertingkah kurang ajar: dramatisasi yang luber hingga motivasi realisasi yang digunakan hanya berhenti di level aji mumpung.
Kedua, mindset tentang film biografi masih sempit–eksekusinya ambisius dengan mengambil rentang waktu yang terlampau panjang. Ketiga, berbeda dengan genre komedi atau romansa yang masih bisa lebih beruntung, film biografi di Indonesia masih dianaktirikan oleh para calon penonton–kalau tidak ada film yang sangat dinanti-nanti, gambling penonton cenderung jatuh ke pilihan film komedi atau romansa.
Terlepas dari berbagai curahan di atas, Athirah saya yakinkan tidak perlu berkecil hati.
Ibarat sosok manusia, film ini adalah makhluk yang menawan namun luput dari radar. Ini adalah film yang jujur.
Ketika banyak film sejenis yang masih mematuhi pakem normatif, Athirah enggan tampil cengeng dan suci. Sang karakter utama di sini ditampilkan secara apa adanya dan kontradiktif terhadap lingkungan sekitar. Misalnya, dengan napas agama yang cukup kental dalam keluarga, toh dalam kondisi nyaris putus asa Athirah memutuskan mencari aji-aji.
Selain itu, meneruskan ucapan saya tentang ego film biografi, Athirah melakukan keputusan yang sangat tepat dengan tidak ambisius dalam memilih periode.
Alih-alih mengikuti kisah hidup si tokoh utama dari lahir sampai teramat tua, film ini hanya memilih periode 50-an dan 60-an. Dinampakkan, di situlah terjadi berbagai keputusan yang “worth to tell”. Dan keputusan inilah yang saya sebut masih lazim absen pada film biografi produksi nasional.
Coba amati film-film biografi dari berbagai penjuru dunia yang memperoleh titel bagus. Mayoritas melakukan tindakan yang sama: pemfokusan periode. Contoh teranyar yang masih melekat di kepala saya adalah film Steve Jobs (2015) dan Florence Foster Jenkins (2016). Lantas, bukan berarti film ambisius dengan periode panjang selalu berakhir buruk. Layaknya seorang pilot, jam terbang dalam hal penceritaan sangatlah dibutuhkan–untuk menghindari terjadinya tsunami informasi di layar.
Lewat berbagai momen heningnya, Athirah mampu berbicara banyak kepada penonton.
Pujian layak diberikan kepada Cut Mini dan Christoffer Nelwan. Mereka mampu berbicara lewat gurat wajah tanpa harus banyak ngomong–dan inilah modal empati yang dimiliki oleh film Athirah.
Berkat momen hening itu pula, film ini tidak tampil congkak terhadap penonton. Penonton diposisikan sebagai pengamat yang nantinya dipersilakan menilai baik buruknya perwatakan para karakter. Di momen-momen yang memiliki potensi rusuh pun film ini memilih untuk tidak tampil provokatif.
Menonton Athirah kembali mengingatkan saya pada nyawa karya Riri Riza dan Mira Lesmana.
Yang tampil penuh cinta tanpa harus mengobral cinta di garda utama–itulah mengapa saya sempat kecewa pada eksekusi AADC 2. Ya, Athirah memang belum menjadi arsip yang sempurna. Naskah film ini sempat semacam berjalan buta arah di paruh pertama durasi. Juga berbagai fragmen remeh-temeh–gambar maupun adegan–disebarkan sampai nyaris bikin saya pening. Namun pelan-pelan, impresi skeptis itu dibayar lunas oleh paruh kedua yang mengalir rapi sekaligus menenteramkan.
Untuk khazanah Indonesia, Athirah adalah entitas langka: film biografi yang memilih untuk tampil apa adanya, merepresentasikan sosio-kultural nusantara secara sederhana, dan–ini yang utama–tidak narsis.
Athirah layak memperoleh 8.5 dari 10 bintang.
Film Athirah (2016) telah ditonton pada 29 September 2016, review resmi ditulis di hari yang sama.
[…] 04. Athirah (baca review) […]