Wednesday, July 24

Review Film Indonesia | “Ngenest (2015)” Penerimaan Rasial

Faktanya, film dengan tema sensitif hanya akan berhasil kalau dibuat langsung oleh orang dalam.

Artinya, proses panjang yang dilalui haruslah disupervisi langsung oleh entah itu pelaku atau korbannya. Dan Ngenest mampu tampil seepik ini karena tangan Ernest berada langsung di belakang kemudi. Isu rasial bisa dimaklumi bahkan ditertawakan bersama sejak awal hingga pamungkas durasi. Inti pertama: tagline Ngenest tidak bohong.

 

Film Ngenest diadaptasi dari novel trilogi Ngenest karya Ernest Prakasa. Pengisahan yang ada di dalamnya terinspirasi langsung oleh pengalaman hidupnya sebagai keturunan Cina. Cina mungkin tidak akan mendapat posisi sulit apabila berlatar Malaysia atau Singapura. Sayangnya di Indonesia, etnis Cina berada di posisi yang serba salah. Cuci otak orang Indonesia lintas generasi pada akhirnya memang terus menyudutkan keturunan Cina.

Itulah sebabnya, dalam konteks Indonesia, terdapat banyak fakta menarik yang sebenarnya menyakitkan terkait golongan-golongan yang terpecah.

Contoh paling nyatanya: sekolah. Layaknya di banyak negara di dunia, sekolah dibagi menjadi negeri dan swasta. Namun di pembagian itu, muncul peranakan lagi: sekolah dieksklusifkan berdasarkan agama. Yang kemudian menjadi lebih spesifik, terdapat sekolah yang berasaskan rasial.

Ngenest menangkap banyak hal itu. Mulai dari pengalaman mayor, hingga pritilan-pritilannya. Ketika prolog mulai ditawarkan, Ngenest menyajikan gambaran anak SD. Tentang fondasi terkuat yang akan menopang film ini, dan secara mengejutkan: berhasil—mengingat mayoritas film Indonesia memiliki prolog goyah. Kala itu, Ernest kecil baru saja masuk sekolah, dia memperkenalkan diri kepada empat anak lain—yang beretnis Jawa-Sunda. Layaknya anak kecil seumuran SD, mereka suka membuat olok-olok, kali ini etnisitas Ernest dijadikan bahan. Namun, di situ jugalah pertemuan Ernest dengan sahabat abadinya, Patrick, diprakarsai. Di bagian terpenting lainnya, Ngenest ingin memutus mata rantai dilema Cina di Indonesia ini dengan beraspirasi menikahi pribumi. Sampai di bagian itu, terlalu banyak pritilan yang pantang untuk dilewatkan.

Ngenest harus mendapat apresiasi yang layak. Sejak premis diumbar ke penonton, saya sudah dibikin takjub dengan naskahnya, dialognya.

Saya langsung bisa menilai, bahkan ketika durasi baru lima menit awal, bahwa screenplay-nya sangatlah cerdas, juara. Literally cerdas. Saya semacam menemukan orang terkasih yang sudah lama saya tunggu, yang bahkan sebelumnya saya masih sangat samar dengan wujudnya, utopis. Selama ini saya mengira mungkin tidak akan ada film Indonesia yang bisa membuat dialog berbahasa Indonesia begitu lumer, natural, tanpa meninggalkan kesan “meh”. Ngenest meruntuhkan kegamamangan saya selama bertahun-tahun itu. Di film ini, akhirnya saya bisa melihat “wujudnya” yang selama ini sangat samar, menjadi sungguh jelas.

Selain itu, dengan sangat banyaknya karakter yang ditampilkan, Ngenest mampu membaginya sesuai porsi.

Tidak ada yang terlalu sedikit dan tidak ada yang terlalu dominan. Oh, dan para pemerannya benar-benar tidak salah pilih. Morgan Oey bekas anggota boyband Sm*sh secara mengejutkan berhasil menyajikan kualitas akting begitu bagus sebagai Patrick. Belum lagi si Lala Karmela yang berhasil menyajikan kualitas akting mumpuni sebagai sosok pacar-istri Ernest yang bagi saya, loveable. Peran utama, Ernest, pun sukses memainkan mimik mukanya, itu yang paling penting. Bagi cast lainnya, apresiasi tinggi saya berikan secara sukarela.

Departemen lain, sinematografi, sound—termasuk soundtrack dan scorring serta mixing—, pun production design sukses memperlihatkan sajian sinema yang jujur.

Transisi antar waktu dikawal dengan baik. Ngenest mengajak penonton untuk bisa terlibat langsung seolah tak berjarak, bukan berusaha mengontrol penonton—perspektif inilah yang dipakai hingga akhir. Coba lihat adegan kelahiran, ketika mata bayi terbuka dan di layar dibuat seolah-olah hanya terlihat secelah garis yang menganalogikan mata terbuka. Pun amati production design yang diset sesuai dengan eranya, salut. Terutama penggunaan HP dan atribut di berbagai tempat yang dijadikan set, yang sesuai.

Ngenest nyaris menjadi sebuah sajian yang sempurna, benar-benar nyaris.

Minornya, meskipun production design sudah bekerja semaksimal mungkin, ternyata masih ada beberapa fakta yang salah tempat. Yang paling saya ingat adalah sequence Harry Potter. Di dalam studio 21 memang sudah disematkan poster now playing sesuai dengan eranya, salah satu poster itu adalah Harry Potter and Chamber of Secret kalau saya tidak salah lihat. Namun di adegan selanjutnya, setelah selesai menonton dan mereka makan di warung pinggir jalan, perbincangannya justru mengenai Sirius Black—yang itu baru muncul di film setelahnya, Prisoner of Azkaban. Era mana yang benar?

Terlepas dari hal itu, sesuai dengan petuah Patrick di Ngenest, memang segala hal di dunia ini berfilosofi tokai. Tidak mudah, kadang melenceng, namun tetap ikuti arus. Jadi kalau ada beberapa hal yang missed, toh bisa ditutupi dengan sangat bagus oleh banyak elemen lain.

Ngenest adalah satire jujur—atau bukan satire? Sebab memang terjadi demikian—bagi Indonesia.

Bahwa memalukan ketika kita menyebut diri sebagai negara kesatuan yang beraneka ragam namun justru permasalahan paling mendasar, ras, menjadi jurang-jurang penghalang. Secara keseluruhan, Ngenest bukan memberikan banyak pengkotak-kotakan. Justru film ini meleburkan segala elemen dilematis itu ke dalam satu plot panjang yang flow-nya sangat rapi dan dalam namun dengan pembawaan ringan dan menyenangkan hingga menelurkan satu hal bagi semua orang: penerimaan.

 

tersapa memberikan 9.5 dari 10 bintang.

 

Nb. Rating 9.5/10 (atau 4.5/5 dalam skala 5) untuk Ngenest, sampai saat ini, adalah rating tertinggi yang pernah saya berikan bagi film Indonesia. Benar-benar salut.

 

Film Ngenest telah ditonton pada 11 Januari 2015, review resmi ditulis pada 12 Januari 2015.


Review Ngenest (2015) oleh Aef Anas ini berhasil menjadi salah satu dari lima nomine Kritik Film Terpilih di Piala Maya 2016.

Review ini sebelumnya tayang di laman tersapacom sebelum akhirnya merger ke ngepopcom dan telah dibaca lebih dari 800 visitor.

3 Comments

  • rar

    Not so so. Hidup dengan luasan pandang terbatas itu memang terbatas. Tidak secara harafiah memang, tetapi siapa yang sebenarnya menjadikan solidaritas kuat antarsesamanya sebagai semacam ‘gaya hidup’ yang justru membawa masyarakat kita ke arah pengkotak-kotakan; diferensial berdasarkan a, b, c, hingga alfabet setelah huruf z jika ada.

    Pun benar adanya jika sesuatu yang bersifat sensitif tersebut akan menohok, telak, mengena, jika diprakarsai oleh Sang Pemangku Kepentingan. Saya setuju, bersama dengan Si Curiga.

    Ngomong-ngomong Tuan, kita satu almamater. Tuan masuk duluan, lulus duluan. Saya tiga tahun sebelum Tuan, dan masih mengembara. Salut dengan buah pemikiran Tuan yang cemerlang dengan opini yang yahud. Semoga berkat sumbangsih kritis jurusan (juga) (semoga) (sungguh-sungguh berharap).

    Sukses selalu! Me proud!
    -rar

Comments are closed.

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading