Saturday, December 7

Catatan Serial | “The Punisher Season 1” Layer Terkompleks dan Paling Bernyali dari Marvel

The Punisher Season 1 telah dirilis. Tulisan ini ultra-spoiler, disarankan tonton dulu baru baca.


Karakter The Punisher di jagat Marvel Cinematic Universe pertama kali muncul di serial Daredevil (kolaborasi Marvel dan Netflix). Sejak itu pula, banyak penonton yang merengek supaya karakter ini dibuatkan series solo.

Tentu saja permintaan itu salah satunya didasari oleh resepsi penampilan Jon Bernthal yang apik membawakan sosok Frank Castle–yakinlah bahwa sejak jauh-jauh hari, tanpa diminta pun, Marvel akan mewujudkannya karena faktor keuntungan finansial. Meski saya ikut mengamini kualitas akting yang disuguhkan Jon, jujur saja pengumuman akan adanya series The Punisher tidak terlalu membuat saya antusias.

Dalam benak saya dulu, karakter ini telah beberapa kali diangkat ke model live-action, tidak ada yang hasilnya istimewa, hanya ada pengulangan narasi tanpa revisi berarti. Apa jaminannya kalau tayangan kali ini bakal berhasil? (Meski selama ini kolaborasi Marvel-Netflix mayoritas memang bagus). Karena ekspektasi diciptakan oleh manusia, di sini saya memilih untuk tidak memasang pengharapan apa pun.

Banner The Punisher (Graphic: Ngepop.com)

Di luar dugaan, saya dibuat belingsatan ketika menonton (sampai menyelesaikan) The Punisher rilisan 2017. Tidak ada satupun episode yang gagal.

Dalam catatan saya, Daredevil Season 1 memegang tampuk tertinggi “serial terbaik adaptasi komik”. Pembuka gerbang The Defenders tersebut mempertahankan posisinya sejak dirilis 2015 silam (saya kado 10/10). Meski sudah ada sekian judul penerusnya, singgasananya tidak goyah sedikit pun. Kondisi itu berubah di kuartal terakhir 2017 ini, The Punisher tidak cuma mengimbangi, tapi sampai mengambil alih kemudi utama.

Perumpamaannya begini: ketika sampai di episode kesembilan, The Punisher telah berhasil menyamai kualitas Daredevil Season 1. Kalau kualitasnya terjaga, otomatis dia bakal bersanding dengan Daredevil S01. Gilanya, The Punisher tidak kenal istilah “zona nyaman”, dia terus menggeber potensinya hingga mencapai kulminasi di episode tiga belas. Seolah tak peduli dengan belas kasihan, serial ini resmi mencatatkan rekor baru: menggeser Daredevil Season 1. Saya rela.

Protes terkeras dari Marvel

Poin paling spektakuler dari The Punisher bukanlah tentang narasi anti-hero-nya. Melainkan, berkat langkah berani yang diambil oleh Marvel-Netflix untuk menjadikan serial ini sebagai simbol protes keras mereka atas kondisi sosial-politik di Amerika.

Ketika di Amerika masih banyak yang bermental denial, The Punisher berani lantang menyebut “teroris” tanpa pandang ras dan kepercayaan. Tidak cuma lantang, di sini bahkan ditunjukkan bahwa “Amerika”-lah (lewat para elite politiknya) yang menciptakan para teroris itu. Teroris hadir sebagai efek laten karena mental “perang” mereka, dengan tega mengirim anak-anak mereka ke medan perang yang mereka ciptakan sendiri.

Dan ketika para tentara itu pulang, entah dalam keadaan hidup, cacat, maupun mati; mereka sekadar memperoleh ucapan “thank you for your service” dari mulut politisi. Seolah-olah itu adalah prestasi yang membanggakan, padahal tidak. Di lubuk diri mereka yang terdalam, terpatri permanen ketakutan-ketakutan, meski mereka sudah tidak lagi berada di medan perang. Orang-orang memahami ini sebagai PTSD.

Dan di The Punisher, PTSD bukanlah bahan bercandaan. Ini adalah isu serius yang membuat banyak anak-anak muda Amerika (bahkan hingga mereka tua) menderita secara psikologis; banyak yang harus berjuang sendirian, tidak sedikit pula yang berakhir bunuh diri. Kultur perang di Amerika ini (seperti yang disajikan di serial) gamblang menunjukkan bahwa Amerika adalah bangsa yang paranoid, sebelum timbul ancaman (rill maupun kepentingan), lebih baik serang dulu.

Seriusnya masalah PTSD ditunjukkan The Punisher lewat seorang pemuda kulit putih bernama Lewis. Sejak pulang, dia selalu tidur bersandingkan pistol; ketika sekali waktu ayahnya mengecek kondisinya, dia refleks menarik pelatuk yang untungnya mengarah ke bagian lain dalam kamarnya. Beberapa waktu kemudian, dia menggali lubang di samping rumahnya, dia memilih tidur di situ karena dia merasa lebih aman–layaknya di situasi perang. Kondisinya urung lega meskipun dia sudah beberapa kali menghadiri pertemuan rutin (sesi sharing penghilang trauma) para mantan tentara perang.

Di kondisinya yang carut marut, dia mengalami eskalasi emosional yang begitu tidak stabil. Pasca melakukan pembunuhan pertamanya (secara tidak sengaja), dia semakin merasa terancam dan nekat mendefinisikan keadilan sesuai versinya sendiri. Lewis mulai membuat bom panci, yang kemudian diketahui diledakkan di salah satu sudut New York City (area perkantoran). Dia selanjutnya melancarkan aksi-aksi teror lainnya yang tak pernah absen melibatkan kekerasan.

Di momen inilah mosi series The Punisher tampak jelas. Narasinya tegas menyebut tindakan tersebut sebagai teror, pelakukunya adalah teroris. Bandingkan dengan kondisi riil saat ini, di mana ketika terjadi aksi serupa, dan kebetulan pelakunya adalah warga kaukasian, tuduhan yang dialamatkan adalah kesehatan mentalnya terganggu. Tuduhan yang membuat marah banyak pihak, sebab seolah ada pengecualian yang diberikan kepada pelaku meskipun sudah jelas-jelas dia telah membunuh sekian jiwa (karena faktor rasnya).

Nyali protes tegas The Punisher ini membuat kehadirannya representatif bagi masyarakat pencari keadilan.

Dia tidak ragu menunjukkan betapa pragmatisnya para politisi di parlemen, tidak gentar membawa isu gun control secara realistis ke tayangan populer, bahkan dia berani meluruskan berbagai kekeliruan sikap politis yang selama ini membuat masyarakat resah–teroris berkulit putih salah satunya. Serial The Punisher layaknya siap pasang badan untuk menerima backlash yang sangat mungkin berdatangan menyerangnya.

Reuni idaman

Frank Castle bisa disebut sebagai sosok yang sangat malang. Dia seolah dikhianati oleh hidup: diperalat untuk turun ke medan perang, anak-istrinya dibunuh, krisis kepercayaan kepada orang lain, dikhianati sahabat yang sudah dianggap seperti saudara sendiri, jadi buron negara, bahkan dijadikan target pembunuhan oleh sindikat-sindikat yang merasa kepentingannya terancam.

Kepercayaan menjadi salah satu tulang punggung dalam narasi serial ini. Di tataran sederhana, The Punisher kembali menghadirkan Karen Page. Satu dari sedikit sosok paling berharga di kehidupan Frank. Peran Karen yang selama ini melihat Frank sebagai manusia pada umumnya, mengubah permainan emosional menjadi lebih subtil. Interaksi keduanya tidak pernah absen menghadirkan jalinan batin tak terucapkan.

Kehadiran Karen di musim perdana The Punisher begitu vital. Dia berdedikasi untuk melindungi Frank sebisanya–begitu pula sebaliknya. Melalui posisinya sebagai wartawan, dia menggunakan sumber daya yang dimiliki guna menguak kebusukan demi kebusukan yang selama ini menjadikan Frank sebagai kambing hitam.

Lagi pula, dari kaca mata kita sebagai penonton, memposisikan Frank sebagai pesakitan di serial ini sungguh sebuah cobaan. Framming yang digagas begitu tepat guna dan sukar ditolak. Linier dengan kegamangan hidupnya karena kehilangan anak-istrinya, dia disimbolkan sebagai sosok family guy. Yang penyayang, peduli, dan mampu menciptakan ikatan batin dengan orang lain yang memang memiliki intensi baik.

Pasca pertemuan awal dengan sang “partner” (David) yang pada mulanya tampak tidak baik-baik saja, toh perjalanan relasi keduanya terjalin begitu heartwarming. Selagi David tidak bisa berjumpa dengan keluarganya (karena kondisinya yang “terbunuh” dan dalam pengasingan), Frank-lah yang berkali-kali hadir memenuhi “tugas” itu. Sebagai “bapak” pengganti, kehadirannya di tengah mereka (istri dan dua anak David) selalu membuat saya tersenyum bahagia.

Masih berbicara tentang partner, chemistry yang disuguhkan oleh Frank-David sungguh mengingatkan saya dengan Matt-Foggy di Daredevil Season 1. Chemistry yang sangat menyenangkan untuk dilihat, bahkan kadang bikin iri saking sublimnya. Lebih jauh, serial turunan The Defenders lainnya belum ada yang bisa menandingi chemistry Frank-David dan Matt-Foggy.

Garapan Marvel-Netflix Terkompleks

Berangkat dari kemasannya yang semacam tidak kenal tedeng aling-aling, The Punisher sangat mudah dilabeli sebagai sajian terkompleks yang pernah dibuat oleh Marvel-Netflix–bahkan oleh Marvel secara general.

Permainan layernya yang begitu kompleks menunjukkan kedewasaan serial ini tentang tujuan apa yang ingin dicapai. Tujuan yang ujungnya adalah memberikan penyadaran. Meskipun harus melalui jalur kekerasan tak terperi.

Sejalan dengan judulnya, The Punisher berusaha “menghukum” tidak hanya para “penjahat”-nya, tetapi juga pemahaman kita sebagai penonton. Bisa jadi kita selama ini terlalu permisif dalam memandang isu krusial (terorisme, gun control, pengadilan, agen negara), kita selalu senang berada di kubu abu-abu hanya karena takut diserang oleh pihak lain kalau berani ambil opsi tegas. The Punisher membantu membuka ruang keberanian keberpihakan dalam diri kita.

Amati momen comeback paling heartbreaking sekaligus glorius seorang Frank Castle sebagai The Punisher di episode kesepuluh. Episode di mana kita diberi berbagai perspektif tentang kejadian serangan di kamar hotel seorang legislator yang tengah diwawancarai oleh Karen. Di episode ini pula Frank dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Billy Russo, orang yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri, mengkhianatinya dengan keji. Pengkhianatan yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang marinir.

Fakta tersebut membalikkan permainan seutuhnya. Orientasi Frank jadi begitu gamblang, bahwa dia mesti menghancurkan Billy dan koleganya karena mereka telah tega mengorbankan banyak nyawa hanya demi kepentingan pribadi. Kebencian yang juga diamini oleh Agen Madani dari Homeland Security, perempuan yang sebelumnya pernah menjalin hubungan dengan Billy, pasca partnernya dihabisi secara tidak manusiawi. Pengungkapan watak cakil seorang Billy ini pun secara efektif mengubah pandangan para penonton. Dari yang sebelumnya kita memposisikannya sebagai “series’ sweetheart”, lalu setelah terbuka kita semacam dihantam truk tronton; hantaman yang langsung mengubah simpati menjadi benci setengah mati.

Bahkan saya merasakan kepuasan “balas dendam” ketika akhirnya di akhir Billy memperoleh hukuman yang setimpal. Dia yang selama ini jarang “mengotori” dirinya sendiri, kini harus masuk ke kubangan lumpur. Puncaknya adalah ketika Frank menggesekkan wajah Billy (yang sebelumnya disebut oleh karakter-karakter lain sebagai “pretty face”) tanpa ampun ke pecahan kaca di penyokong inti komidi putar. Kekejaman terhadap sang villain saya kira dibenarkan dalam konteks menyaksikan The Punisher ini.

Atas berbagai keberaniannya, agaknya tidak berlebihan kalau kemudian saya ikut mengkado The Punisher dengan 10/10.

Jelas ini adalah serial yang kejam, sadis, bengis, bahkan umum dijuluki ultra-violence. Namun, di balik itu semua, serial ini menunjukkan problema sosial-politik (terutama di Amerika) secara terbuka. Alih-alih menonton serial hero/anti-hero adaptasi komik, menonton The Punisher lebih terasa seperti menyaksikan sebuah narasi kriminal pada umumnya yang luar biasa memuaskan.

Ralat formula skala 5: di gambar tertera "...)+2" yang benar adalah "...)+2,5"

Discover more from Ngepop.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading