Di 2017 ini Netflix seolah ingin mengangkat panjinya tinggi-tinggi: bawa ide tertabu, kami akan mewadahi itu.
Maret lalu mereka memperkenalkan adaptasi audio-visual untuk 13 Reasons Why dalam wujud serial. Bulan lalu, Juli, Netflix pantang mundur merilis film To the Bone meski selama masa promo awal memperoleh begitu banyak backlash. Bulan ini, Agustus, layanan streaming yang juga punya lini production house ini kembali menggebrak publik via Atypical.
Apa yang menghubungkan tiga judul tersebut? Ketiganya sama-sama mengangkat tema yang bisa dibilang nekat buat kondisi masyarakat kita saat ini—masyarakat yang mudah tersinggung oleh berbagai hal.
Sebenarnya, nada-nada sumbang tidak hanya mendera tiga judul di atas. Ada judul-judul lain yang bernasib serupa, sebut saja Okja, Dear White People, remake Death Note, dan sebagainya. Namun, kenapa saya mengambil 13 Reasons Why, To the Bone, dan Atypical? Sebab ketiganya dengan sangat percaya diri mengangkat isu yang begitu personal: kesehatan mental.
Pewujudan narasi yang bagi banyak orang masih berada di ranah tabu itu bukan tanpa kendala. Serupa tayangan pada umumnya, Netflix selalu meluncurkan trailer untuk masing-masing sajian Netflix Original-nya. Dan seperti bisa selalu dipastikan: triggered, muncul begitu banyak hujatan yang dialamatkan ke mereka; bahkan ketika bekalnya baru trailer.
Padahal, kalau mau sedikit bersabar dan berbesar hati dengan menontonnya dulu, Netflix berhasil menawarkan perspektif “pembuka dialognya” secara kontekstual.
Kehadiran catatan berupa kompilasi bahasan ini sebenarnya memang disengaja. Terdapat benang merah yang terlalu kuat pun menarik untuk dirunut bersama ketimbang harus memecahnya ke dalam beberapa tulisan. Namun memang, sebelum ini saya sudah membuat tulisan terpisah berkaitan dengan 13 Reasons Why. Maka dari itu, anggap saja uraian 13 Reasons Why di sini sebagai suplemen atas tulisan terdahulu yang bisa dibaca di sini (KLIK).
13 Reasons Why
Dalam memori, adegan Hannah menyayat kedua pergelangan tangannya sendiri merupakan salah satu momen paling traumatis yang pernah saya saksikan. Beberapa kali menonton ulang 13 Reasons Why untuk mengapresiasi rapinya narasi dan penyubliman pesannya yang begitu kuat, episode terakhir selalu gagal saya putar ulang. Benak selalu menolak, tidak berkenan mengalami kembali rasa yang begitu menyakitkan seperti saat pertama kali menyaksikannya.
Dari tiga judul yang ada dalam catatan ini, 13 Reasons Why adalah yang paling kompleks. Tindakan final yang nekat diambil oleh Hannah merupakan akumulasi rasa kesepian, marah, malu, putus asa, hingga hilangnya rasa percaya. Lalu, apakah pencabutan nyawa diri sendiri bisa dianggap sebagai perbuatan wajar dan bisa dibenarkan? Secara hati nurani, saya masih bersama publik: tidak. Bunuh diri merupakan tragedi terbesar yang bisa menimpa manusia.
Namun, ternyata tidak banyak yang paham bahwa “jalan” menuju bunuh diri ini sesungguhnya sangat berliku. Dengan berpegangan pada akal sehat, semestinya seseorang tidak akan melakukannya tanpa dorongan intim yang kuat–entah disadari-diketahui orang lain atau tidak. Jalan berliku tersebut sebenarnya memberikan “ruang pencegahan” yang cukup apabila orang di sekitarnya proaktif membaca tanda-tanda yang ada, rantai “putus asanya” potensial diputus sebelum mencapai kulminasi.
Sayangnya, kepekaan pembacaan tanda-tanda inilah yang sampai saat ini masih menjadi problema. Terlalu banyak pihak yang sekarang ini melakukan pemakluman atas dasar: sudah biasa kok; tidak usah berlebihan, deh. Bahkan, banyak dari kita yang masih tidak awas bahwa olok-olok bisa mengerdilkan kepercayaan diri si korban, respons yang keliru bisa membuat seseorang merasa tidak punya tempat lagi di lingkungannya, memanfaatkan orang lain (taken for granted) bisa meninggalkan rasa kecewa yang mendalam, hingga tidak punya teman curhat bisa membuat depresi semakin hebat akibat tumpukan beban tanggungan seorang diri.
Melalui panduan narasi rekaman suara Hannah dan perjalanan napak tilas yang dilakukan oleh Clay, 13 Reasons Why menunjukkan realita sebenarnya. Realita yang bisa dimaknai sebagai: kondisi serupa yang sangat mungkin turut terjadi di banyak tempat lain di seluruh dunia.
Kalau yang kamu rasakan ketika menonton serial ini adalah perasaan pahit, ya sepahit itulah tanggungan yang harus dipikul oleh korban gangguan mental–di kondisi nyata bisa lebih “menyakitkan” bahkan sangat mungkin sampai di level tak terperi.
Atas dasar isu yang dibawakan, 13 Reasons Why untungnya sadar bahwa problem ini tidaklah sederhana. Ada terlalu banyak variabel sebab-akibat yang terlibat. Yang bahkan dalam tulisan saya sebelumnya tertulis: kita sampai tidak bisa sepenuhnya menyalahkan beberapa nama yang “didakwa” oleh Hannah. Sebut saja Justin (salah satunya), di mana dia berada di situasi dan lingkungan yang tidak menguntungkan, posisinya pun menjadi serba salah.
Penyajian perspektif yang lebih luas (dengan memberikan backstory yang proporsional untuk mayoritas karakter vitalnya) membuat serial ini begitu bijaksana. Serial 13 Reasons Why tidak menjadi rangkaian episode yang bersifat “menghakimi tanpa hati”. Kita sebagai penonton diposisikan sebagai pihak netral dan cukup dewasa untuk menilai sendiri mana yang layak dipersalahkan dan mana yang juga berada di posisi “korban”.
Kisah pilu 13 Reasons Why membuka gerbang introspeksi dan dialog nyata tentang gangguan mental yang selama ini masih absen karena dianggap tabu oleh masyarakat kita. Bukan untuk mengagung-agungkan tindakan bunuh diri, justru sebaliknya yaitu: mencegah supaya tragedi serupa tidak terjadi lagi.
To the Bone
Film panjang yang dibintangi Lily Collins sebagai sosok Ellen ini menyoroti anoreksia. Isu yang selama ini masih tergolong jarang disorot karena kompleksitas dan sensitivitasnya.
Karena alasan itu pulalah, mengangkat isu ini ke film fiksi (apalagi berdasarkan kisah nyata) jelas jadi tantangan tersendiri. Kalau tidak mengerti treatment yang tepat, bukan mustahil filmnya malah bisa dianggap menghina atau bahkan terkesan preachy.
Pendekatan To the Bone cukup bertolakbelakang dibanding 13 Reasons Why. Alih-alih membuat korban anoreksia sebagai pesakitan, To the Bone justru sangat memanusiakannya. Pendekatan yang digunakan adalah kritik non-konvensional: melalui perjalanan interaksi Ellen, baik dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.
Kondisi yang disuguhkan di layar: kita menyaksikan secara dekat perjuangan mereka melawan anoreksia. Dengan cara itu, penonton efektif tidak diposisikan untuk bersimpati pada gangguan yang diidap. Melainkan, kita dibuat ikut merasakan keprihatinan yang mendalam atas kondisi fisik korbannya secara simultan. Kondisi fisik yang siapa pun orangnya pasti tidak akan tega melihatnya. Anoreksia adalah parasite yang jadi musuh bersama.
Penanganan medis penderita anoreksia pun bukanlah perkara gampang. To the Bone seolah memang tidak membiarkan penonton untuk berpikiran bahwa anoreksia itu perlu dikasihani. Sebaliknya, penanganan yang ditawarkan langsung keras sejak awal: kalau tidak bisa mengikuti aturan dokternya, silakan mencari tempat lain.
Penyembuhan anoreksia bukan lagi tentang kata “seharusnya”. Namun sudah harus murni berasal dari keinginan kuat pengidapnya untuk kembali normal. Motivasi tiap korban pun bisa berbeda-beda. Ellen misalnya, setelah berkali-kali dia bergulat dengan emosi internalnya sendiri (dan berkali-kali gagal), dia akhirnya paham bahwa poin utama penyembuhannya bukanlah untuk dia, tetapi utamanya karena dia punya orang-orang di sekitar yang begitu peduli padanya dan begitu berharap supaya dia bisa kembali sehat.
Untuk mencapai tingkat pemahaman tersebut, prosesnya tidaklah singkat. Kita sebagai penonton bahkan ikut diposisikan berada di “sepatunya”. Kita dibuat engap ketika menyaksikan siklus makannya (dikunyah kemudian dilepehkan kembali), kita seolah dibuat ikut sekarat ketika menyaksikan Ellen yang sedang ditimang seperti bayi dan diberi makanan khusus oleh ibunya, serta masih banyak momen gamang lainnya.
Satu demi satu proses “kembali” yang dilalui oleh Ellen semata-mata untuk mengingatkan bahwa dia tetaplah manusia yang punya pilihan-pilihan dalam hidup. Mengamati proses yang tidak mudah tersebut, pada akhirnya membuat kita sebagai penonton turut paham dan bisa ikut memutuskan apakah pilihan-pilihan yang diambil berdampak baik atau justru sebaliknya.
To the Bone seperti berteriak lantang bahwa filmnya adalah tentang penerimaan atas makna kehadiran diri dan konsekuensi yang menyertainya.
Atypical
Menggunakan tagline “normal is overrated”, Atypical tidak berdusta. Serial ini mengangkat kisah keluarga dengan dua anak yang salah satunya (Sam) mengidap autisme. Saudara perempuannya (Casey) selalu siap siaga menjaga Sam terutama sewaktu di sekolah; si ayah akhirnya bisa menerima kondisi anak laki-lakinya; sedangkan sang ibu yang sering khawatir dengan perkembangan anak-anaknya justru sedang dirundung kegalauan personal.
Karena Sam adalah satu-satunya anak autis di sekolahnya, tentu saja serial ini spesifik mengeksplorasi satu jenis kelainan autisme, yaitu yang protagonisnya derita. Dan kalau menggunakan skop yang lebih luas, Atypical sejujurnya berjalan selaras dengan makna judulnya. Ini adalah serial tentang “ketidaknormalan” yang mesti dilalui oleh masing-masing karakter yang terlibat—tidak ada orang normal di dunia ini.
Di permukaan, jelas kita akan terus-terusan berjumpa dengan repetisi adegan di mana Sam bertemu dengan terapisnya—sebab inilah cikal bakal narasinya. Namun, selain itu kita juga berjumpa dengan aspirasi-aspirasi spontan lainnya dari Sam yang sering tidak terduga; pencarian makna “orang yang dicintainya” misalnya.
Hal yang perlu digarisbawahi, Sam di sini adalah remaja yang cerdas secara akademik tetapi selalu kesulitan untuk menunjukkan afeksi ke orang lain. Inilah tantangan terbesar yang membuat perjalanannya tidak semulus orang kebanyakan.
Hampir sama dengan 13 Reasons Why, Atypical berasaskan “pemahaman”. Tentu “pemahaman” utamanya ditujukan pada proses pendewasaan Sam, tetapi lebih dari itu kita juga secara fasih dibuat mengenal karakter-karakter lain tanpa kesulitan berarti.
Kita dipertemukan dengan ketidaknormalan yang dihadapi oleh masing-masing dari mereka. Misalnya: perjuangan Casey untuk memperoleh beasiswa olahraga tetapi terjerat perasaan khawatir (nantinya siapa yang akan menjaga Sam di sekolah) dan relasi dengan sahabat setimnya; kehidupan pacar Casey yang tidak baik-baik saja karena melakukan tindakan kriminal di masa lalu (citranya rusak di mata banyak orang yang bahkan tidak tahu trackrecord-nya); kehidupan pernikahan orang tua Sam dan Casey yang naik-turun; hingga sang terapis yang ternyata kewalahan menangani krisis asmaranya sendiri.
Tindakan Atypical untuk mengemas dirinya dengan skema “komedi natural” merupakan keputusan jenius. Tindakan yang membuat kita dengan mudah merasa dekat dengan karakter-karakter intinya. Pun serial ini mampu menarik simpati tanpa perlu memaksa kita menyumbangkan rasa kasihan pada protagonisnya. Inilah poin terpenting, karena selama ini masyarakat kita terlanjur terbiasa dengan pola menghargai “orang yang istimewa” dengan cara yang justru bisa menjurus pada tindakan merendahkan (kondisi semacam ini turut disinggung di salah satu adegan).
Atypical menarik karena menggambarkan Sam sebagai sosok yang diperlakukan sama seperti manusia sewajarnya. Dalam bahasa yang lebih sosial, serial ini mendorong perwujudan lingkungan inklusif bagi semua. Saling mengakomodasi tanpa merugikan pihak lain. Dan Atypical mampu menunjukkan hal yang dimaksud dengan sangat lancar.
Netflix dan Resepsi Publik
Entah ini adalah fenomena template atau memang mereka (sebagian penonton) menganggapnya demikian, tetapi komentar standar yang selalu muncul: tayangan ini meromantisasi blablabla. Ketika pernyataan tersebut hanya muncul di judul tertentu, saya kira bisa dimaklumi. Anehnya, “romanticized” itu selalu digunakan di semua tayangan produksi Netflix yang mengangkat tentang isu kesehatan mental.
Dan ketika ditelusuri lebih lanjut, orang-orang yang kekeuh menghujatnya seperti itu ternyata mereka tidak menangkap “gambarnya secara utuh”. Artinya banyak yang langsung berkomentar hanya berbekal trailer, ada yang hanya menonton beberapa episode awal (atau menonton tapi pakai metode skip), serta ada pula yang langsung berkomentar tanpa tahu apa-apa karena melihat hype yang ada (biasanya membawa-bawa artikel dari website tertentu).
Jenis komentar lain yang cukup mengganggu adalah tentang: representasi. Ketika fokusnya adalah “serial A kurang representatif”, terkadang argumen tersebut masih bisa diterima. Namun, kalau mau lebih bijak, sebetulnya mereka pun mesti melihat konteks adaptasi yang diangkat.
Kita ambil Atypical misalnya, serial ini jelas tidak bisa merepresentasikan seluruh jenis autisme di dunia—karena memang berfokus pada satu tipe saja dan ini tetaplah narasi fiksi berprotagonis seorang Sam. Kalau alasan representasi digunakan sebagai senjata untuk melakukan backlash, jelas itu tidak bisa sepenuhnya diterima. Apa jadinya kalau dalam satu musim Atypical mengakomodasi semua jenis autisme? Belum lagi ada yang marah-marah karena yang memerankan karakter yang mengalami gangguan kesehatan bukanlah sosok yang benar-benar mengalaminya. Kalau begitu kondisi yang diminta, apa tidak lebih baik kalau bentuknya jadi film dokumenter sekalian?
Terlepas dari sebagian resepsi monoton yang berseliweran, baik 13 Reasons Why, To the Bone, maupun Atypical masih tetap lebih banyak memperoleh pujian. Yang lebih penting lagi, saya beranggapan bahwa ketiga judul di atas sama-sama memperoleh capaian tertinggi sebuah karya: berhasil menciptakan ruang dialog di kehidupan nyata. Capaian itu lebih hebat dibandingkan sekadar tingkat popularitas maupun pembukuan finansial.
Kudos untuk Netflix yang selalu konsisten merangkul narasi dengan pendekatan yang sebetulnya kurang populer (pun tabu dan sering memancing kontroversi) semacam ini.
RATING
13 Reasons Why (10/10)
To the Bone (8.5/10)
Atypical (8.8/10)
[…] (Selain link review di atas (dengan klik hyperlink subheading) baca juga TULISAN INI) […]